PEMBAHASAN
Beberapa
tokoh filosuf pada abad ke-20 yang menjadi icon filsafat ilmu dengan kekayaan
karyanya menjadikakn abad modern bersinar diantaranya:
Sir Francis Bacon (1561-1626)
Francis Bacon, Viscount St Alban pertama (lahir 22 Januari 1561, wafat 9 April1626) adalah seorang filsuf, negarawan dan penulis Inggris. Ia juga dikenal sebagai pendukung Revolusi Sains.
Bahkan, menurut John Aubrey, dedikasinya menggabungkannya ke dalam sebuah
kelompok ilmuwan yang bersejarah yang meninggal dunia akibat eksperimen mereka
sendiri.
Francis Bacon dianugerahi gelar ksatria (Sir) pada tahun 1603,
diangkat menjadi Baron Verulam di tahun 1618, dan menjadi Viscount St. Alban di
tahun 1621. Tanpa keturunan, kedua gelar kebangsawanan tersebut hilang pada
saat kematiannya. Ia menerima julukan sebagai pencipta esai Inggris.
Meskipun
bukan seorang ilmuwan praktis, Bacon dianggap sebagai "bapak ilmu
pengetahuan modern" oleh banyak sejarawan. Filsafat dan tulisannya sangat
berpengaruh dalam mengobarkan revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke-17. Banyak
kaum cendekiawan seperti Robert Boyle dan Isaac Newton menerima "filsafat
baru" Bacon yang menekankan empirisme (teori yang menyatakan bahwa
pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan pengalaman langsung) dan induksi.
Setelah menampik ketergantungannya pada pendapat para ahli [sebelumnya] seperti
Aristoteles, ilmu pengetahuan baru semakin merebak ke permukaan dan memunculkan
banyak sekali penemuan baru yang terus bertambah hingga kini. Namun
"filsafat baru" ini sama sekali bukan hal yang baru; karena hal ini
sudah ada dalam Alkitab. Sang "bapak ilmu pengetahuan modern" ini
adalah seorang Kristen yang percaya kepada Alkitab dan yang menjadikan doktrin
Kristen sebagai dasar pemikirannya.
John
Henry, profesor ilmu sejarah dari Universitas Edinburg menulis biografi Bacon
yang berjudul "Knowledge is Power: How Magic, the Government and an
Apocalyptic Vision Inspired Francis Bacon to Create Modern Science."
(2002) Henry menyatakan bahwa Sir Francis Bacon "menemukan ilmu
pengetahuan modern" karena terinspirasi oleh ketiga hal ini:
"magis" (baca: iman Kristen), "penguasa" (baca: pengetahuan
untuk kebaikan manusia), dan "visi apokaliptik" (artinya, kepercayaan
harfiah akan nubuatan Daniel dalam Daniel 12:4, "Banyak orang akan
menyelidikinya, dan pengetahuan akan bertambah"). Buku ini memperjelas
hubungan Bacon dan Alkitab.
Dalam
sebuah ulasan buku ini yang ditulis 22 Agustus 2002 pada majalah Nature, Alan
Stewart berkata, "Bacon begitu yakin bahwa dia hidup pada suatu masa saat
pengetahuan semakin bertambah seperti yang dikatakan dalam Alkitab".
Stewart melanjutkan, "Mungkin bagian yang paling menarik dari buku ini
adalah bagian yang membahas tentang istilah 'magis' Bacon, yang diartikan Henry
sebagai agama. Dalam buku ini dia membuat lebih banyak alasan yang meyakinkan
ketimbang menelisik fondasi filsafat Bacon secara mendalam." Perlu
diperhatikan, baik Stewart maupun Henry bukanlah ahli apologetika Kristen,
namun keduanya mengakui bahwa Alkitab memiliki dampak langsung terhadap
revolusi ilmu pengetahuan. Ibarat percikan api dalam sekring, Alkitab
mengobarkan impian akan sebuah peralatan baru dalam benak Bacon, sebuah
"Novum Organum", yang bisa menuntun kepada peningkatan pengetahuan,
persis seperti yang disebutkan Alkitab tentang akhir zaman.
Inti
filsafat Bacon adalah metode induksi: berlawanan dengan metode deduksi untuk
memahami sifat alam semesta seperti yang dilakukan para ahli [sebelumnya]
seperti Aristoteles dan Galen, ilmuwan harus membangun teori dari nol,
mengumpulkan fakta-fakta, mengukur sesuatu, mengumpulkan dan menyusun
bukti-bukti pengamatan, kemudian membuat hipotesa untuk menjelaskannya.
Lalu,
apakah itu otoritas Alkitab? Bagi Francis Bacon, Alkitab menunjukkan cara
pandang terhadap Allah, dunia, dan manusia yang menerima ilmu pengetahuan
sebagai mandat yang terhormat. Alam ini adalah mesin canggih yang dibuat oleh Allah,
dan Allah memberi manusia kecerdasan dan tugas untuk menemukan kegunaannya.
Akal manusia saja tidak cukup; akal perlu dipandu oleh doktrin Alkitab tentang
natur Allah dan dunia, dan dengan penyelidikan hukum-hukum sang Pencipta.
Keyakinan akan hukum-hukum alam adalah warisan Alkitab. Sir Francis percaya
bahwa dalam penggenapan nubuatan Daniel, pada akhir zaman pengetahuan manusia
akan bertambah-tambah dengan menggulingkan para ahli yang tidak alkitabiah
seperti Aristoteles dan dengan menyelidiki penyataan umum Allah (penciptaan)
dengan pikiran-pikiran yang telah diciptakan seturut gambar-Nya.
Coba
perhatikan kembali dasar alkitabiah dari ketiga filsafat Bacon yang digambarkan
dalam judul buku biografi Henry:
1.
"magis"
(pilihan kata yang disayangkan), maksudnya kepercayaan beragama yang Stewart
sebut "fondasi terdalam" filsafat Bacon,
2.
"penguasa",
yaitu tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada pemerintah untuk bertindak bagi
kebaikan manusia, dan
3.
"visi
apokaliptik," keyakinan bahwa nubuatan Daniel dapat menginspirasi kita
untuk mengembangkan pengetahuan untuk kebaikan umat manusia.
Francis
Bacon bukanlah seorang skeptis sembunyi-sembunyi; baginya Alkitab merupakan
kunci untuk membebaskan manusia dari pemikiran para ahli yang salah dan kitab
Kejadian mendorong kita untuk melakukan tugas kita dengan sungguh-sungguh
sebagai pengurus ciptaan-Nya. Termasuk mempelajari ilmu pengetahuan. Dia
menganggap paham ateis sebagai paham kaum tidak terpelajar: "Filsafat yang
dangkal menarik pikiran manusia ke arah ateisme," ejeknya, "namun
filsafat yang dalam membawa pikiran manusia ke arah kepercayaan." (Bagi
orang yang hidup pada zaman Ratu Elizabeth, agama sama artinya dengan
kekristenan.) Senada dengan itu, katanya "Filsafat, jika tidak dipelajari
dengan sungguh-sungguh, membangkitkan keraguan; tapi jika didalami dengan
sungguh-sungguh, akan menghilangkan keraguan." Bagi Bacon, ilmu
pengetahuan merupakan suatu tindakan penyembahan [kepada Allah] dan perisai
terhadap kekeliruan. Dia berkata, "Ada dua kitab yang diletakkan di
hadapan kita untuk dipelajari agar kita terhindar dari kesalahan: pertama,
Alkitab yang menyingkapkan kehendak Allah; yang kedua adalah kitab tentang
ciptaan-Nya yang menyatakan kuasa-Nya."
Orang
lebih mengingat Sir Francis Bacon karena gagasan-gagasannya. Dia lahir di
London tahun 1561 setelah Elizabeth I naik tahta, ketika masyarakat Inggris
mengalami kemajuan yang drastis. Ia hidup sezaman dengan Galileo, Shakespeare,
Sir Walter Raleigh, dan Sir Francis Drake. Bacon tidak bekerja sebagai ilmuwan
tapi sebagai pengacara dan politisi, menjadi pengacara tahun 1582 dan anggota
DPR Inggris tahun 1584. Dia diberi gelar ksatria [Sir] pada masa pemerintahan
raja baru, James I, tahun 1603 dan kemudian menjadi Wakil Jaksa Agung, Jaksa
Agung, dan menjelang 1618 menjadi Hakim Agung. Sayangnya, tahun 1621
reputasinya rusak karena kasus suap. Meskipun dia harus berjuang di hadapan
raja dan parlemen, dia mengakui kesalahannya dan harus mengundurkan diri dengan
rasa malu. Dia lahir ke dunia tanpa membawa apa-apa; masa mudanya sangat
miskin, dan pada hari tuanya kehilangan keberuntungan dan reputasi. Dia
meninggal tahun 1626 ketika melakukan percobaan pembuktian. Secara keseluruhan,
hidup dan karier Bacon hampir tidak menonjol; karakter pribadinya "sama
sekali tidak mengagumkan," menurut Frederic R. White. Dia tidak membuat
penemuan yang signifikan dan tidak menciptakan hukum ilmiah. Akan tetapi
gagasannya yang mendalam mencerminkan kedalaman dan kejeniusan pikiran.
Bacon
adalah seorang filsuf urutan pertama yang memengaruhi peradaban Barat selama
berabad-abad meskipun selama hidupnya ia dikritik terus-menerus oleh para
filsuf lain. Dia menganggap orang-orang yang mengkritiknya itu
"Orang-orang cerdas yang terkurung oleh beberapa penulis, khususnya
Aristoteles, sang Diktator mereka." Daripada mengulangi ide-ide lama
dengan metode deduktif, Bacon lebih mengusulkan "penyelidikan baru,"
misalnya, mengumpulkan bukti melalui percobaan kemudian membuat interpretasi
daripada membuat deduksi natur (sifat) suatu hal dari bentuk dan prinsip
universal. Ensiklopedia Britannica menjelaskan bahwa dia bukan sembarang
penganut empirisme; dia percaya pada perumusan hukum dan penyamarataan;
"Akan tetapi tempat abadinya dalam sejarah filsafat dunia terletak pada
kebulatan tekadnya bahwa pengalaman adalah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan
dan semangatnya yang besar demi sempurnanya ilmu pengetahuan alam”.
Sangat menakjubkan bahwa Francis Bacon menegaskan pentingnya
mengkombinasikan pandangan konseptualis dan tendensi-tendensi empiris dalam
ilmu pengetahuan. Francis Bacon memang pendukung metode induksi dalam mencapai
pengetahuan, dan bagi dia inilah prosedur mencapai pengetahuan yang harus
dilalui. Meskipun demikian, bagi dia, pengetahuan yang sifatnya induktif
menjadi pembuktian dan kepastian atas pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya
kualitatif yang dihasilkan oleh kerja nalar manusia. Meskipun demikian, harus
diakui bahwa peranan hipotesa dan “kemampuan menalar” (dimensi rasionalitas)
dalam pengetahuan manusia tidak bisa dijelaskan Bacon secara berhasil.
REFERENSI:
Dr. Yuma Tharif
al-Khauli, al-Falsafah al-‘ilmu fi Qarni al-Isyriin, (‘alimul Ma’rifah),
2000.
0 komentar:
Post a Comment