PEMBAHASAN
A. Pusat-Pusat Pembinaan Hadis
Tercatat
beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam meriwayatkan hadis,
sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut
ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman
dan Khurasan.[1]
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah. Karena disinilah Rasul Saw menetap
setelah hijrah. Disini pula Rasul Saw membina masyarakat Islam yang di dalamnya
terdiri atas Muhajirin dan Ansar, dari berbagai suku atau kabilah, disamping
dilidunginya umat-umat non Muslim, seperti Yahudi. Dan para sahabat yang
menetap disini diantaranya Khulafa Al-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti ‘Aisyah,
abdullah ibn Umar dan Abu Said Al-Khudri, dengan menghasilkan para pembesar
Tabi’in, seperti Sa’id Ibn Al-Musyayyab, ‘Urwah Ibn Zubair, Ibn Shihab
Al-Zuhri, Ubaidullah Ibn ’Utbah Ibn Mas’ud dan Salim Ibn Abdillah Ibn Umar.
Di
antara para tabi’in yang membina hadis di Makkah seperti
Mujtahid ibn Jabar, Atha ibn Abi Rabah, Thawus ibn kaisan, dan Ikrimah maula
Ibn Abbas. Di Kufah, ialah Al-Rabi’ ibn Qasim, Kamal ibn
Zaid Al-Nakha’i, Said ibn Zubair Al-Asadi, Amir ibn Sarahil Al-Sya’bi, Ibrahim
Al-Nakha’i, dan abu Ishaq Al-sa’bi.di Basrah, ialah Hasan
Al-basri, Muhammad ibn sirrin, Ayub Al-Sakhyatani, Yunus ibnu ‘Ubaid, Abdullah
ibn ‘Aun, Khatadah ibn Du’amah Al-Sudusi, dan Hisyam ibn Hasan.di Syam, ialah
Salim ibn Abdillah Al-Muharibi, Abu Idris Al-Khaulani, Abu Sulaiman Al-Darani,
dan Umar ibn hana’i. Di Mesir, ialah Amr ibn Al-Haris, Khair
ibn Nu’aimi Al-hadrami, Yazid ibn Abi habib, Abdullah ibn Abi jafar, dan
Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil. Di Andalus, ialah Ziyad ibn
An’am Al-Mu’afil, Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Rafi’, dan Muslim ibn Yasar.
DiYaman, ialah Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn Munabah, Thawus
dan Ma’mar ibn Rasyid. Kemudian di Khurasan, para sahabat
yang terjun, antara lain Muhammad ibn Ziyad ibn Tsabit Al-Anhsari, dan Yahya
ibn Sabih Al-Mugri.[2]
B.
Pergelokan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergelokan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat,
setelah terjadinya perang Jamal dan perang sififin, yaitu ketika kekuasaan
dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibat cukup panjang dan
berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok
(Khawarij, Syiah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam
ketiga kelompok tersebut).
Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif,
ialah dengan muncul hadis-hadis palsu ( Maudhu’) untuk mendukung
kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan-
lawannya.
Adapun pengaruh yang berakibat positif, adalah
lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis,
sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari
pergolakan politik tersebut.
C. Pembukuan
Hadis Pada Masa Tabi’in
Para tabi’in menerima ilmu dari para sahabat. Mereka
bergaul dekat, mengetahui segala sesuatu dari mereka, menerima banyak hadist
Rasulullah dari mereka, dan mengetahui kapan para sahabat melarang serta
membolehkan penulisan hadist.
Para Tabi’in senantiasa meneladani para sahabat.
Mereka, para sahabat, adalah generasi pertama yang memelihara Al-Qura’an dan
As-Sunnah. Maka, pada umumnya, para tabi’in dan para sahabat sependapat tentang
masalah pembukuan hadits.[3] Faktor-faktor
yang mendorong Khulafa ar-Rasyidin dan para sahabat menolak penulisan hadis
juga adalah faktor yang mendorong tabi’in bersikap sama. Mereka memiliki satu
sikap. Mereka menolak penulisan hadis selama sebab-sebabnya ada. Sebaliknya,
jika sebab-seba tersebut tidak ada, mereka sepakat tentang kebolehan menuliskan
hadis.Bahkan, kebanyakan dari mereka
mendorong dan menumbuhkan sikap berani membukukan hadis
Diantara
tabi’in yang melarang penulisan hadis adalah Ubaidah bin Amr as-Salmani
al-Muradi (w. 72 H), Ibrahim bin Yazid at-Taimi (W. 92 H), Jabir bin Zaid (w.
93 H), dan Ibrahim an-Nakha’I (w. 96 H).
Ketidaksukaan
Tabi’in untuk menulis hadis itu semakin bertambah ketika pendapat pribadi
mereka dikenal oleh masyarakat luas. Mereka khawatir pendapat-pendapat itu di
bukukan oleh murid-murid mereka bersama hadis sehingga timbul kekaburan.
Kami
menyimpulkan bahwa tabi’in yang tidak menyukai penulisan hadits dan bertahan
dengan sikap ini semata-mata didorong oleh rasa tidak suka pendapatnya
dibukukan. “Adapun kabar yang bersumber dari mereka, yang menunjukkan
keengganan generasi ini (tabi’in) menulis hadits harus ditafsirkan dengan tidak
menyalahi kesimpulan kami bahwa mereka semua adalah ulama fikih.” Tidak ada
seorang pun ahli hadits di antara mereka yang bukan ahli fikih.
Semua
sikap tabi’in itu diriwayatkan dari para ulama yang kemudian dikutip oleh
sejarawan. Hal itu menunjukkan secara jelas bahwa mereka bukan menolak
penulisan hadis, tetapi menolak penulisan pendapat pribadi. Kabar-kabar yang
berisi larangan menulis hanyalah bermaksud larangan menulis pendapat.[4] Hal ini serupa dengan ketidaksukaan
Rasulullah Saw dan para sahabat generasi pertama terhadap penulisan hadis yang
dilandasi kekhawatiran bahwa hadis akan bercampur dengan Al-Qur’an atau terjadi
pengabaian Al-Qur’an.
Pendapat diatas diperkuat oleh kabar-kabar dari
tabi’in. Mereka mendorong penulisan hadis dan membolehkan murid mereka menulis
hadis dari mereka. Para tabi’in menulis hadis di dalam kelompok-kelompok kajian
para sahabat.Bahkan,
sebagian dari mereka sangat bersemangat menulis hadis. Bukti tentang hal ini
antara lain sebagai berikut.
Sa’id
bin Jubair (w. 95 H) menulis hadis dari Ibnu Abbas. Ketika lembaran-lembaran
miliknya telah penuh dengan hadis, Sa’id menulis hadis di sandalnya sehingga
penuh dengan hadis. Diriwayatkan pula dari Sa’id bahwa ia berkata, ketika saya
berjalan bersama Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, saya mendengar hadis dari keduanya.
Maka, saya menulis hadis itu diatas kendaraan dan setelah turun saya
menuliskannya kembali.
Amir
asy-Syabi berkata, “Tulisan itu adalah pengikat ilmu.” Ia mendorong penulisan
hadis dengan berkata, Jika kamu mendengar sesuatu dariku maka tulislah
sekalipun di dinding. Ia mendiktekan hadis kepada murid-muridnya dan mendorong
mereka menulis hadis.
Tulisan-tulisan itu tersebar luas sehingga al-Hasan
al-Basri (w. 110 H) berkata, kami memiliki tulisan-tulisan yang selalu kami
pelihara. Umar bin Abdul Aziz (61-101 H) juga menulis hadis. Diriwayatkan dari
Abu Qilabah bahwa ia berkata, “Umar bin Abdul Aziz mendatangi kami untuk shalat
zuhur sambil membawa kertas. Ketika ia mendatangi kami untuk shalat ashar, ia juga
membawa kertas. Saya bertanya kepadanya, Wahai
Amirul-Mukminin, tulisan apakah ini? Ia menjawab, ini adalah hadis yang saya
terima dari Aun bin bin Abdullah. Saya mengagumi hadis ini sehingga saya
menulisnya.
Hal di atas membuktikan bahwa penulisan
hadis telah meluas diantara generasi-generasi tabi’in, dan tidak bisa diingkari
penulisan hadis pada masa-masa terakhir abad pertama dan masa-masa permulaan
abad kedua. Pada masa itu telah banyak lembaran dan tulisan.[5] Mujahid
bin Jabr (w. 103 H), misalnya, mengijinkan sebagian sabatnaya masuk ke
kamarnya, lalu ia menyerahkan tulisannya kepada mereka untuk di salin.
Hisyam
bin Abdul Malik meminta salah seorang pejabat agar bertanya kepada Raja’ bin
Haiwah (w. 122 H) tentang suatu hadis. Raja’ berkata, “Saya tentu lupa akan
hadis itu sekiranya hadis itu tidak saya tulis.
Atha
bin Abi Rabah (w. 122 H) menulis hadis untuk dirinya. Ia memerintahkan anaknya
menuliskan hadis untuknya. Murid-muridnya juga menulis hadis di
hadapannya. Ia mendorong para muridnya mempelajari dan menulis hadis.
Gerakan ilmiah semakin aktif dengan kegiatan penulisan
hadis dan mempelajarinya dari para ulama. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat dari
al-Walid bi Abi as-Saib, ia berkata “saya melihat Makhul, Nafi’ dan Atha
disodori banyak hadis.
Seseorang bertanya kepada Nafi tentang penulisan hadis
(setelah penulisan hadis meluas dan menjadi kebutuhan setiap penuntut ilmu).
Nafi menjawab, Apa yang menghalangimu menulis hadis, sedangkan Allah Yang Maha
Halus lagi Maha Mengetahui memberitahukan bahwa dia menulis, seperti dalam
firman-Nya,
A$s% $ygßJù=Ïæ y‰ZÏã ’În1u‘ ’Îû 5=»tGÏ. ( žw ‘@ÅÒtƒ ’În1u‘ Ÿwur Ó|¤Ytƒ ÇÎËÈ
Artinya: “Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada
di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhan kami tidak akan salah dan tidak
(pula) lupa;”(QS.
Thaha: 54)
D. Jasa Umar
Bin Abdul Aziz terhadap As-Sunnah pada Masa Tabi’in
Di
kala kendali khalifah di pegang oleh Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99 H, dari
dinasti Umayyah. Sebagai Amirul Mukminin ia tidak jauh dari ulama, ia menulis
sebagian hadis serta memotivasi para ulama agar mereka berani melakukan hal
yang sama.[6] Hal yang mendorongnya adalah
aktivitas para tabi’in ketika itu dan sikap mereka membolehkan ketika tidak ada
lagi sebab-sebab untuk melarangnya. Ia melakukan upaya-upaya pemeliharaan hadis
karena khawatir hadis akan hilang. Sebab lain yang berpengaruh terhadap jiwa
para ulama, yaitu munculnya praktek pemalsuan hadis yang dilatar belakangi
oleh persaingan politik dan perselisihan antar aliran.[7]
Pemerintahan
di bawah kepemimpinan umar bin Abdul Aziz mengambil langkah tepat dengan
memprakarsai penghimpunan hadis secara resmi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz
berkirim surat keseluruh wilayah Islam.
Di
dalam surat yang ditujukan kepada penduduk Madinah, Umar bin Abdul
Aziz berkata, “lihatlah hadis Rasulullah Saw., kemudian tulislah karena saya
mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan kematian orang yang memilikinya.” Dan,
dalam surat yang di tujukan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin
Hazm (w. 117 H), seorang pejabat Madinah, ia memerintahkan kirimkan kepadaku
hadis Rasulullah Saw. Yang kamu nilai benar dan hadis umrah karena saya
mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan kematian orang-orang yang memilikinya.
“disebutkan dalam satu riwayat bahwa ia memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad
menuliskan ilmu yang dimiliki oleh Umrah putri Abdurrahman (w. 98 H) dan
al-Qasim bin Muhammad (w. 107 H), dan Abu Bakar menuliskannya untuknya. Dan,
janganlah engkau menerima kecuali hadis Nabi Saw. Hendaklah mereka menyebarkan
ilmu dan duduk sehinggga ilmu itu diketahui oleh orang yang belum mengetahuinya
karena ilmu itu tidak akan binasa.
Umar
bin Abdul Aziz juga memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri (w. 124 H) dan
lain-lainnya menghimpun sunnah-sunnah Rasulullah. Ia tidak merasa cukup dengan
memerintahkan orang-orang secara khusus ditugaskan menghimpun hadis. Ia
mengirim surat ke berbagai wilayah Islam, mendorong para pejabat di
wilayah-wilayah itu agar mereka menumbuhkan sikap berani para ulama dalam
mengkaji dan menghidupkan As-Sunnah.
Ia
meminta Abu Bakar Hazm (salah seorang ilmuan pada masanya) untuk menghimpun
hadis. Sebagaimana di sebutkan oleh sebagian ulama, Umar bin Abdul Aziz,
Khulafa ar-Rasyidin yang kelima, meninggal dunia sebelum melihat tulisan-tulisan
yang berhasil di himpun oleh Abu Bakar.[8]
Demikianlah,
akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriah merupakan masa penutup sikap pro
dan kontra tentang penulisan hadis. Maka di bukukanlah Sunnah Rasulullah saw.
Dalam lembaran, kitab, dan buku.
KESIMPULAN
Kabar dari
tabi’in yaitu tentang larangan atau izin penulisan hadis, tidak timbul sebagai
akibat adanya dua kelompok, yang salah satunya membolehkan penulisan hadis dan
yang lain melarangnya. Yang benar, mereka membolehkan penulisan hadis ketika
sebab-sebab pelarangnya tidak ada. Sebaliknya, mereka melarang penulisan
hadis hadis ketika di temukan sebab-sebab pelarangannya, seperti ke khawatiran
tercampurnya Al-Qur’an dengan As-Sunnah atau kekhawatiran jika Al-Qur’an
disamakan dengan kitab-kitab hadis.
Umar
bin Abdul bin Aziz mengkhawatirkan hilangnya As-Sunnah dan terjadinya pemalsuan
terhadapnya, maka ia memerintahkan penghimpunan As-Sunnah oleh para ulama
tabi’in. ia memerintahkan semua pejabat di berbagai wilayah kekuasaan Islam
untuk memperhatikan hadis dan menumbuhkan keberanian para ulama membentuk
kelompok-kelompok pengkajian hadis di mesjid-mesjid. Umar
sendiri, bersama-sama ulama, terjun langsung mewujudkan prakarsa itu. Sebelum meninggal, ia
membagi-bagikan apayang berhasil ditulis oleh Imam az-Zuhri. Umar berjasa besar
dengan menugaskan pejabat pemerintah memelihara As-Sunnah secara resmi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib, Muhammad Ajaj, As-Sunnah
Qablat-Tadwin, Beirut: Darul Fikr Cet. V Th. 1401 H-1981 M.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: PT Bulan Bintang, Cet. Ke-11
1993.
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. ke-4,
2003.
0 komentar:
Post a Comment