Find us Here

Nasakh dan Mansukh dalam Al-Qur'an

PEMBAHASAN

A.    NASKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN            
             Pengertian Naskh dan Mansukh dalam Al-Qur’an
Naskh atau Nasikh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan).[1] Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya: نسخت الكتاب yang artinya saya memindahkan (menyalin) apa ada dalam buku, lebih kongkritnya secara lughawi, ada empat makna nasikh yang sering diungkapkan ulama, yaitu :[2]
1.    Izalah (menghilangkan)
2.    Tabdil (penggantian)
3.    Tahwil (memalingkan)
4.    Naql (memindahkan dari satu tempat ke tempat lain).
Ulama berbeda pendapat tentang bagaimana cara menghadapi ayat-ayat yang sepintas menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari situlah munculnya pembahasan tentang nasakh dan mansukh dalam al-Qur’an.
Nasakh dan mansukh dalam al-Qur’an diungkap sebanyak empat kali:[3]
1. QS. Al Baqarah ayat 106

Artinya: “ Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Bukankah kamu mengetahui bahwa Allah swt. berkuasa atas segala sesuatu.”

2. A1-A’raf ayat 154

Artinya: sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.

3. A1-Hajj ayat 52


Artinya: Allah menghilangkan apa yang dinasakhkan oleh setan itu selanjutnya Allah    menguatkan ayat-ayat-Nva, Allah Maha Mengetahui dan Maha bijaksana.

4. Al Jatsiah ayat 29
Artinya: Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar, sesungguhnya Kami tidak menyuruh mencatat apa yang tidak kamu kerjakan.Untuk mengetahui ada tidaknya nasakh mansukh dalamAl-quran terlebih dahulu kita ketahui apa hakikat nasakh mansukh tersebut.

Secara terminologi nasakh adalah raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i (menghapuskan hukum syara dengan kitab syara pula) atau ‘raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i (menghapus hukum syara dengan dalil syara lain).[4] Sedangkan mansukh adalah hukum yang di angkat (dihapuskan).[5]
Dari definisi-definisi yang ada, para ahli ushul fiqh menyatakan bahwa nasakh bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut :[6]
1.      Pembatalan harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasikh (yang menghapus).
2.      Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
3.      Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddiqy di dalam bukunya " Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir" menjelaskan bahwa nasikh menurut istilah Fuqaha mempunyai arti:[7]
Pertama, Membatalkan hukum yang telah diperoleh dan nash yang telah lalu dengan suatu nash yang baru datang. Misalnya, Nabi pernah mencegah ziarah kubur kemudian Nabi membolehkan.
Kedua, Mengangkat umum nash yang telah lalu atau mengqaidkan mutlaq-Nya. Misalnya dalam surat Al-Baqarah, Allah menerangkan bahwa perempuan ditalak, menanti tiga kali haid. kemudian dalam surat AlAhzab, Allah swt menerangkan bahwa apabila kamu menikahi perempuan yang beniman, kemudian kamu talak dia sebelum disetubuhi, mereka tidak beriddah. Nash yang pertama umum, yaitu tertuju kepada perernpuan yang sudah didukhul dan yang belum. Sedangkan nash yang kedua tertuju kepada isteri yang belum didukhul merupakan suatu hukum yang khash.
Di dalam surat An-Nur Allah menerangkan bahwa mereka yang menuduh isteri-isteri (wanita-wanita) yang muhshanat (yang mempunyai suami) berzina, kemudian tidak dapat mendatangkan empat saksi, hendaklah penuduh itu dipukul dengan tali kulit 8o kali. Kemudian Allah berfirman: “Segala mereka yang menuduh isteri-isterinya dan tidak dapat membawa empat saksi selain dan dininya, disuruh mengemukakan empat kali persaksian buat menyatakan kebenarannya.”
Nash yang pertama umum, masuk ke dalamnya segala penuduh, baik yang dituduh itu isterinya ataupun bukan. Nash yang kedua tertuju kepada suami yang menuduh isterinya, hukum yang khash. Yaitu dijadikan lima kali sumpah sebagai ganti empat saksi Dan diberikan hak kepada isteri melepaskan din dan siksa zina dengan bersumpah lima kali pula. ini contoh mengangkat umum atau menghilangkan umum. Di dalam surat Al-Maidah Allah berfirman:

Artinya: “Diharamkan atas kamu (makan) bangkai dan darat.” (Qs. Al-Maidah [5]: 3)
Kemudian di dalam surat Al-An’am dijelaskan darah yang terpencar. Nash pertama mengenai segala jenis darah yang dikatakan nash mutlaq. Nash yang kedua mengkaitkan darah dengan darah yang terpencar-pencar yang dikatakan nash muqayyad. Nasakh macam yang kedua ini diakui ada dalam Al-Qur’an, baik yang demikian itu dinamai nasakh ataupun dinamai takhshish dan Taqyid. Dan yang demikian ini tidak berarti membatalkan hukum sama sekali. Adapun nasakh menurut makna yang pertama, yakni ada ayat al-Qur'an yang telah dibatalkan hukumnya, tinggal lafadnya buat dibaca-baca saja, ini yang patut cliperhatikan dan inilah titik perselisihan.
Pembatalan sesuatu yang datang kemudian terhadap sesuatu nash yang terdahulu harus bersandar kepada salah satu dan dua faktor:[8]
Pertama, nash yang datang kemudian me-nash-kan, yaitu telah menasakh-kan nash yang telah terdahulu.
Kedua, terdapat antara dua nash itu pertentangan yang tidak mungkin kita mengumpulkannya. Adakah yang sedemikian ini dalam A1-Qur'an. Tidak ada dalam A1-Qur'an barang suatu ayat yang me-nash-kan bahwa me-nasakh-kan ayat yang terdahulu. Dalam pada itu ada tiga tempat yang mungkin mengokohkan pendapat jurnhur jika dilihat sepintas saja. Akan tetapi sesudah dilakukan pemeniksaan yang mendalam ternyata pula tidak.
Menurut pendapat As-Sayuthy sudah di-mansukh-kan yaitu sebanyak dua puluh ayat, baik juga menerangkan pendapat seorang ahli tahqiq yang menjelaskan syarat-syarat nasakh itu.

2)      Pembagian Naskh  
Adapun dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah naskh, para ulama membagi nasakh ke dalam empat macam:
a)      Nasakh Al-Qur'an dengan Al-Quran.
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang idah empat bulan sepuluh  hari.
b)     Nasakh Al-Qur'an dengan Sunnah. 
Ini  terbagi dua:
o   Nasakh Al-Qura'n dengan hadis Ahad. Jumhur berpendapat, Qur‘an tidak boleh dinasakh oleh hadis ahad, sebab Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula inenghapuskan sesuatu yang ma'lum (jelas diketahui) dengan yang maznun (diduga).
o   Nasakh Al-Qur'an dengan hadis Mutawatir. Naskh demikian dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:
     Artinya: dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Qs. Annajm: 3-4).
c)      Nasakh Sunnah dengan Al-Quran.
ini dibolehkan oleh jumhur ulama jumhur, misalnya masalah menghadap ke baitul maqdis yang diterapkan dengan sunnah dan di dalam al-Qur'an terdapat dalil yang menunjukkannya, ketetapan itu dianaskhkan oleh al-Qur'an.[9]
d)     Nasakh Sunnah dengan Sunnah.
dalam kategori ini terbagi ke dalam empat kategori yaitu:
o   Naskh Mutawatir dengan Mutawatir
o   Naskh ahad dengan ahad
o   Naskh ahad dengan mutawatir
o   naskh mutawatir dengan ahad

3)      Macam-macam Naskh dalam Al-Qur’an 
Naskh dalam Al-Qur'an ada 3 macam yaitu:
1. Nasakh tilawah dan hukum.
2. Nasakh hukum, tilawahnya tetap.
3. Nasakh tilawah hukumnya tetap.
           
B.     Pedoman Mengetahui Nasakh          
Manna’ Al-Qaththan dalam bukunnya “studi ilmu-ilmu Qur’an” menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan naskh (menghapus), dan ayat lain dikatakan mansukh (dihapus), ketiga dasar tersebut adalah:
1)      An naql as sharih (pentransmisian yang jelas) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti sabda Nabi tentang ziarah; “kuntu nahaitukum an ziaratil qubri fa zuruha” (dulu saya melarang kamu untuk ziarah kubur, sekarang berziarahlah).
2)      Melalui kesepakan umat bahwa ayat ini nasakh dan ayat ini mansukh.
3)      Melalui study sejarah, ayat mana yang datang dulu dan mana yang datang belakangan.
Dengan mengetahui tiga dasar penetapan nasakh mansukh di atas, akan menjadi rambu oleh para ulama’ dalam mengkaji tentang adanya ayat nasakh dalam al Qur'an. Perbedaan pendapat tentang adanya ayat-ayat mansukh dalam al-Quran
Sebagai mana yang telah diketahui bahwa nasikh mansukh adalah salah satu kajian penting yang terdapat dalam ilmu-ilmu al-Quran seperti kajian ilmu lain seperti ilmu munasabah, ilmu qiraat, dan lain-lain. dengan mengetahui hal tersebut di atas, terdapat perbedaan di kalangan ulama’ tentang eksistensi nasikh dalam al-Quran.
Mayoritas ulama seperti imam Syafi’i, Assuyuti, dan lain-lain mengakui keberadaan nasikh dalam al-qur'an. Mereka mendasarkan pada firman-firman Allah SWT seperti;
1.      Al Baqarah ayat 106
2.      Ar Ra’du ayat 39
3.      An Nahl ayat 101
Dengan berpijak pada keseluruhan ayat di atas, jumhur ulama memandang bahwa revisi al-Quran telah terjadi. Dasar lain yang mendasari ulama tentang teori nasakh adalah penerapan perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin didalam al-Quran ada yang bersifat sementara, dan bahwa tatkala keadaan telah berubah, perintah tersebut dihapus dan diganti dengan perintah baru lainnya, namun karena perintah itu kalamullah, maka ia harus dibaca sebagai bagian dari Al-Quran.
Di samping itu terdapat beberapa ulama yang menyangkal adanya nasakh dalam al-Qur'an, seperti Abu Muslim Al Isfahani, Imam Ar Razi, Muhammad Abduh, dan lain-lain. mereka berpegangn atas firman Alah dalam surat Al Fushilat ayat 42. tapi oleh mayoritas ulama, pendapat Al Isfahani ditolak mentah-mentah, hal ini karena yang dimaksud karena kata “bathil” dalam surat Al Fushilat ayat 42 bermakna kebathilan yang berarti lawan dari kebenaran. Hal ini berbeda dengan Al Isfahani ynag menafsirkan “bathil” dengan pembatalan.

C.    Manfaat Mengetahui Nasakh
Menurut Manna'Al-Qaththan terdapat empat hikmah keberadaan ketentuan naskh, yaitu:[10]
1.      Menjaga kemaslahatan hamba.
2.      Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.      Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian dihapus.

D.    Pendapat tentang Naskh dan Dalil Ketetapannya
Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan:
1.      Yahudi, merekea tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya naskh mengandung konsep al-bada’
2.      Orang syiah, Mereka sangat berlebihan dalam menerapkan naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagaisuatu halyang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian maka posisi mereka sangat kontradiktif dengan orang yahudi.
3.      Abu Muslim Asfahani, menurutnya secara logika naskh dapat saja terjadi tertapi tidak mungkin terjadi menurut syara’ dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam al-Qur’an
4.      Jumhur Ulama, mereka berpendapat bahwa naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hokum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil: a) Perbuatan – perbuatan Allah swt tidak bergantung pada alas an dan tujuan. b) Nash-nash kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya.[11]

PENUTUP

Dari pembahasan di atas maka dapt disimpulkan bahwa secara terminologi nasakh atau nasikh adalah raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i (menghapuskan hukum syara dengan kitab syara pula) atau ‘raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i (menghapus hukum syara dengan dalil syara lain). Sedangkan mansukh adalah hukum yang diangkat.
Syarat Nasakh yaitu: yang dibatalkan adalah hukum syara’, pembatalan itu datang dari tuntutan syara’, Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu, Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian. Selain yang disebutkan di atas di dalam nasakh dan mansukh terdapat dasar-dasar penetapan nasakh dan mansukh, bentuk-bentuk dan macam-macam nasakh dalam Al-Qur’an dan hikmah keberadaan nasakh.



DAFTAR PUSTAKA

H. Ahmad Syadali, dan H. Ahmad Rfi’i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 1997.  

Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2014.  

Muhaimin, dkk. Studi Islam dalam Ragam Dimesi dan Pendekatan, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012.  

Rosihon Anwar, Ulum Qur’an. Badung: Pustaka Setia, 2007   

Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddiqy, Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012.  





[1] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2014. hal.326
[2] Rosihon Anwar, Ulum Qur’an. Badung: Pustaka Setia, 2007,  hal:164
[3] Ibid. hal 165
[4] Ibid, hal:165
[5] H. Ahmad Syadali, dan H. Ahmad Rfi’i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 1997. Hal:15
[6] Rosihon Anwar, …….., hal:165
[7] Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddiqy, Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012. Hal. 100
[8] Ibid, Hal. 100
[9] Manna Khalil Al-Qattan, Studi…..hal. 335
[10] Rosihon Anwar, ……… hal:179
[11] Manna Khalil al-Qathan, …. hal. 330-333


Blog, Updated at: 3:45:00 AM

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts

Flag Counter
“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7)

FOLLOW DAPATKAN UPDATE

Download Lainnya

close