A. Letak Geografis Kamboja
Kamboja merupakan salah satu yang disebut negara
Indo-Cina, sebelah barat berbatasan dengan Thailand, utara Laos,
timur Vietnam, dan selatan Teluk Thailand yang dilintasi oleh
Sungai Mekong dan Danau Tonle Sap. Negara tersebut lebih kurang
memiliki luas wilayah sekitar 181.035 km2, dengan jumlah
penduduk 7 juta jiwa. Kamboja berbentuk Kerajaan
dengan ibukota Phnom Penh. Bahasa yang digunakan di negara tersebut adalah
bahasa Khmer, sedangkan penduduknya
mayoritas memeluk agama Buddha. Penduduk hampir 87% berbangsa Khmer, selebihnya
etnik Champa, Melayu, Cina, dan India.[1]
B. Sejarah Masuknya Islam di Kamboja
Masuknya Islam ke Kamboja tidak dapat dipisahkan
dengan datangnya orang-orang Champa ke negari tersebut. Islam masuk ke Kamboja pada abad ke 15 atau sekitar
tahun 1471 M, ketika jatuhnya Kerajaan Champa di Vietnam akibat serangan
Kerajaan Annam. Pada
saat orang-orang Champa memasuki Kamboja mereka telah memeluk Islam dari negeri
asalnya. Alasan mereka meninggalkan tanah airnya karena desakan Nam Tien atau
pergerakan orang-orang Vietnam ke selatan, agar selamat dari desakan tersebut
mereka hijrah ke Kamboja. Sesampainya di Kamboja orang-orang Champa bertemu
dengan kelompok Melayu yang datang dari Nusantara. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya akulturasi budaya karena persamaan agama dan rumpun bahasa
Austronesia ke dalam sebuah masyarakat baru yang disebut Melayu-Champa.
Terdapat teori yang mengatakan bahwa jauh sebelum jatuhnya Kerajaan Champa,
orang-orang Kamboja telah menjalin hubungan niaga dengan para
pedagang-pedagang Arab, Persia, Gujarat, dan Melayu. Karena sebagaimana
yang diketahui, Kamboja bukan merupakan jalur perdagangan yang ramai dilalui
oleh para pedagang. Namun hal ini bisa jadi benar, karena sebelum abad ke-15
pada saat jatuhnya Kerajaan Champa, Kamboja merupakan daerah penghasil
beras yang besar. Dan telah lama Kamboja melakukan kontak niaga dan
kebudayaan dengan etnis lain terutama melayu.
Pada abad ke-15 hubungan Melayu dan Kamboja semakin
meningkat dari segi ekonomi dan agama, banyak orang-orang Melayu datang ke
Kamboja dengan tujuan untuk berdagang dan menyebarkan agama. Kebanyakan
orang-orang Melayu berasal dari Borneo, Jawa, Sumatera, Singapura, Terengganu,
dan Patani. Bahkan pada ketua masyarakat Melayu waktu-waktu tertentu menjalin
kerja sama dan saling membantu dengan raja-raja Khmer. [2]
Gelombang migrasi pertama datangnya orang Champa ke
Kamboja yaitu pada tahun 1471, ketika Vietnam menduduki Vijaya, gelombang
berikutnya pada tahun 1697, ketika Vietnam menduduki Panduranga, dan gelombang
terakhir yaitu pada tahun 1832, karena mendapat siksaan yang luar biasa.
Migrasi tersebut terjadi karena melarikan diri dari serangan Vietnam, sedangkan
migrasi Melayu dari Nusantara karena perdagangan dan penyebaran agama Islam.
Kedua etnis yang berbeda asal usul bersatu dalam satu agama, kedua etnis
tersebut akhirnya bekerja sama dan bahkan menajalin hubungan melalui
perkawinan, sehingga melahirkan etnis baru yang disebut Champa-Malayu.
Penguasa Khmer mengizikankan masyarakat Champa-Malayu
untuk menempati beberapa daerah yaitu di wilayah Outdong (ibukota Khmer pada
waktu tersebut), seperti Thbaung Khmum, Stung Trang,dan daerah-daerah Kompot,
Battambang, dan Kampung Luong. Masyarakat Melayu-Champa membentuk satu
komunitas khusus yang dikenal dengan nama Cham-Jva, yang ditafsirkan masyarakat
Kamboja sebagai semua masyarakat Melayu dari manapun asalnya. Di daerah yang
telah disebut di atas banyak kita jumpai
Mesjid dan Surau serta tempat pendidikan agama. Kebanyakan dari mereka
bekerja sebagai peladang, nelayan, peternak lembu, dan pedagang yang handal,
sebagian dari mereka juga menjadi kaki tangan dari pihak kerajaan, mulai dari
pegawai dari tingkat kampung, bahkan ada juga menjadi tentara atau memegang
jabatan politik.
Dari fenomena di atas terlihat bahwa pemerintah
Khmer tidak pernah menganggap bahwa mereka sebagai penduduk asing atau
pendatang, melainkan warga negaranya, sebaliknya juga masyarakat Melayu-Champa
sudah merasakan Kamboja adalah negaranya, termasuk ketika Kamboja dijajah oleh
Prancis. Kamboja dijadikan daerah Protektorat oleh Perancis dari tahun 1863
sampai dengan 1953, sebagai daerah dari Koloni Indochina. Setelah penjajahan
Jepang pada 1940-an, akhirnya Kamboja meraih kemerdekaannya dari Perancis pada 9 November 1953.
Kamboja menjadi sebuah kerajaan konstitusional di bawah kepemimpinan Raja Norodom Sihanouk.
Masa jabatan Norodom Sihanouk direbut oleh Lon Nol, Pada saat
Perang Vietnam tahun 1960-an, Kerajaan Kamboja memilih untuk netral. Hal ini
tidak dibiarkan oleh Jenderal Lon Nol dan Pangeran Sirik Matak yang
merupakan aliansi pro-AS untuk menyingkirkan Norodom Sihanouk dari
kekuasaannya. Dari Beijing, Norodom Sihanouk memutuskan untuk beraliansi dengan
gerombolan Khmer Merah, yang bertujuan untuk menguasai kembali tahtanya yang
direbut oleh Lon Nol.[3]
C. Respon
Masyarakat dan Pemerintah Kamboja Pada Masa Awal Kedatangan Islam
Kerajaan Khmer di Kamboja dan Kerajaan Champa di Vietnam memang telah lama
menjalin hubungan baik dalam hal politik maupun ekonomi. Jadi dimungkinkan
tidak asing bagi mereka ketika melakukan kontak dalam ranah yang berbeda.
Terlebih lagi pada masa sebelum kejatuhan Kerajaan Champa, Champa sendiri pernah
masuk ke dalam kekuasaan Khmer.[4]
Perjalanan histori antara kerajaan Khmer dan Champa memang cukup panjang.
Akan tetapi, pada masa berikutnya histori yang panjang itu menjadi buah yang
menyenangkan bagi kedua kerajaan tersebut. Terbukti pada masa kejatuhan
kerajaan Champa akibat serangan Annam Kerajaan Khmer di Kamboja dengan
baik hati mau menampung para imigran dari negeri Champa. Pihak kerajaan
menyambut dengan senang hati kedatangan para imigran tersebut. Bahkan tidak
sampai di situ keterbukaan juga di tunjukan oleh kalangan bangsawan dan rakyat
jelata. Tidak ada persinggungan yang serius sejauh yang pemakalah
ketahui.
Pada awal kedatangannya para imigran Champa diberikan kebebasannya oleh
pemerintah Kamboja untuk memilih wilayah yang mereka tempati. Lebih dari itu
mereka juga diberikan keleluasaan untuk memilih lahan pekerjaan yang mereka
kehendaki. Bahkan pihak kerajaan mengangkat imigran Champa tersebut untuk
menjadi pegawai kerajaan bagi mereka yang memang kompeten. Namun pada masa
sebelumnya dan pada masa awal kedatangannya pemerintah dan rakyat Kamboja
belum memeluk agama Islam. Agama Budha masih menjadi dominasi yang kuat di hati
raja dan masyarakat Kamboja.
Tidak heran apabila orang-orang Champa dengan mudah menduduki tempat-tempa
penting di kerajaan, karena jika kita menelaah ke masa lalu, sebelum jatuhnya
kerajaan tersebut merupakan kerajaan yang memiliki administrasi yang cukup baik
dalam hal politik maupun ekonomi sehingga orang-orang Champa terbiasa dengan
administrasi kenegaraan. Kemudian, pada abad ke 17 raja Kamboja mulai memeluk Islam.[5]
Namun masuk Islamnya raja Kamboja nampaknya tidak signifikan menaikan jumlah
pemeluk Islam di Kamboja.
Disamping itu Khmer dan Champa juga telah lama menjalin hubungan politik
dan niaga jadi tidak asing bagi kedua kerajaan tersebut ketika melakukan kontak
yang lebih intens. Umat Islam di Kamboja akhirnya tetap dapat hidup
berdampingan dengan masyarakat Kamboja dengan tidak terjadinya ketersinggungan.
Baik dalam hal ras maupun keagamaan. Hal ini terjadi sejak masa kedatangannya
sampai masa sekarang. Akan tetapi berbeda kasus pada masa Kamboja dikuasai oleh
Khmer Merah.
D. Kondisi Umat Islam Pada Tahun
1970-an
Penduduk
muslim Di Kamboja pada tahun 1971 berjumlah sekitar 500.000 jiwa. Di antaranya
480.000 orang asal Champa. 20.000 orang Jawa, semua Muslim ini mengikuti Mazhan
Syafi’i. Pada tahun 1974 sebelum Khmer Merah memerintah terdapat 550.000 orang
Muslim di Kamboja. Pada tahun tersebut juga terdapat 185 Mesjid yang tersebar
di berbagai pemukiman Muslim. Beberapa jenis pusat pendidikan Islam juga di
selenggarakan, baik yang berkaitan dengan Masjid maupun berupa Madrasah. Selain
itu juga terdapat sekitar 600 orang ulama dan guru agama telah terlibat dalam
kegiatan keIslaman di kalangan masyarakat Muslim di Kamboja.[6]
Pada masa pemerintahan Lon Nol, kehidupan kaum
Muslin agak lebih baik karena pada saat itu kepercayaan dan berbagai kondisi
diberikan kepada Melayu-Champa, Les Kosem ditunjukkan menjadi mediator dalam
penyelesaian konflik intern Muslim dan perwakilan Kamboja ke berbagai negara Islam.[7]
Namun setelah Kamboja jatuh ke tangan Khmer Merah (Pol Pot) Les Kosem melarikan
diri ke Malaysia.
Pada 1975-1979, tepatnya pada saat Pol Pot dari
Khmer Merah berkuasa, beribu-ribu orang Kamboja disiksa dan dibunuh, karena ia
menganggap mereka bekerjasama dengan Lon Nol. Khmer Merah adalah penganut paham
komunis redikal dan ia juga menghalangi kebebasan beragama. Hal tersebut
membuat umat Islam pada saat itu mersaka penderitaan yang luar biasa. Mereka
dilarang melakukan tradisi keagamaan; nama yang memiliki konotasi Islam
dihapuskan, Mesjid dan Madrasah dikurangi jumlahnya, dan bahkan juga tidak
difungsikan, Al-Quran dan bacaan agama lainnya dimusnahkan. Bahkan budaya,
bentuk aktivitas, pakaian, makanan, dan aksesoris Islam dilenyapkan.
Pada tanggal 17 April pasukan Khmer Merah melakukan
penangkapan terhadap pengikut Lon Nol, kemudian pasukan Khmer Merah juga
melakukan deskriminasi sosial yaitu “ikut Pol Pot atau menolak Pol Pot”, bagi
mereka yang menolak Pol Pot akan mengalami siksaan dan pembantaian. Diperkirakan
1-2 juta rakyat terbunuh dan kekurangan makanan, 500.000 jiwa di antaranya
adalah oarang-orang Melayu-Champa, dan lebih kurang 6 juta rakyat lainnya mengalami
trauma berat. dengan alasan karena ideologis dan keagamaan, serta asal usul
mereka adalah kaum pendatang. Mereka dipaksa berpisah dengan sesama Muslim dan
diusir ke hutan dan gunung.
Meskipun Pol Pot hanya memerintah selama empat
tahun, namun akibat yang ditimbulkannya dari aspek budaya, membuat banyak
rakyat Khmer Islam dan Melayu-Champa yang tidak mengenali agamanya lagi. Ia
berhasil mengikis habis identitas Islam dan budaya Champa.[8]
Baru setelah runtuhnya rezim Khmer Merah ke tangan pemerintahan baru yang
ditopang dari Vietnam, secara umum keadaan penduduk Kamboja mulai membaik dan
kaum muslimin yang saat ini mencapai kurang lebih 45.000 jiwa dapat melakukan
kegiatan keagamaan mereka dengan bebas, mereka telah memiliki 268 mesjid, 200
mushalla, 300 madrasah Islamiyyah dan satu markaz penghafalan al-Qur'an
al-Karim. Di samping mulai bermunculan organisasi-organisasi keIslaman, seperti
Ikatan Kaum Muslimin Kamboja, Ikatan Pemuda Islam Kamboja, Yayasan Pengembangan
Kaum Muslimin Kamboja dan Lembaga Islam Kamboja untuk Pengembangan. Di
antara mereka juga ada yang menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan,
seperti wakil perdana menteri, menteri Pendidikan, wakil menteri Transportasi,
dua orang wakil menteri agama dan dua orang anggota majelis ulama.
Sekalipun kaum muslimin dapat menjalankan kegiatan kehidupan mereka seperti
biasanya dan mulai mendirikan beberapa madrasah, mesjid dan yayasan, namun
program-program mereka ini mengalami kendala finansial yang cukup besar,
melihat mereka sangat melarat. Ini dapat dilihat bahwa gaji para tenaga
pengajar tidak mencukkupi kebutuhan keluarga mereka. Disamping itu
sebagian kurikulum pendidikan di beberapa sekolah agama sangat kurang dan tidak
baku.[9]
E. Kondisi Muslim Kamboja Sekarang
Setelah jatuhnya rezim Pol Pot, seakan-akan Umat Islam
di Kamboja bisa bernafas kembali, yang di mana pada saat itu Islam Khmer dan
Melayu Champa kembali merasakan sedikit kemerdekan beragama. Masyarakat Islam
diletakkan di bawah majelis yang terdiri dari enam orang dilantik oleh raja.
Majelis Agama Islam Kampuchea dipimpin oleh seorang Changvang (sekarang dijabat oleh Ustadz Kamaruddin Yusoff, dibantu
oleh dua orang pembantu mufti; Ustadz
Irsyad bin Yusoff Kasir/Ketua dan Ustadz Yusof Bin Said/Wakil Ketua, dilengkapi
dengan empat orang Pembantu
administratif; sekarang Abd. Wahid bin Abdullah/Sekretaris, Yusof bin
Yahya/ Bendahara, Fauzi bin Yusof /Wakil Sekretaris, dan Ahmad bin Yusof/Wakil
Bendahara).[10]
Dalam setiap kampung terdapat seorang pemimpin spritual yang diberi gelar hakim. Di daerah Trea (Kompong Cham)
didirikan Sekolah Madrasah Hafiz Al-Quran; kemudian diikuti Sekolah Dumai di Km
9 Pnom Penh; Darul Aitam di Pochentong; Sekolah Umul Qura’ di Chrouy Metrei;
Madrasah Hajjah Muhammadi di Beng Proul. Sebenarnya sebelum rezim Khmer Merah
memerintah banyak pelajar Kamboja yang belajar ke Malaysia, Thailand Selatan,
Mesir, Arab Saudi, dan Kuwait. Namun ketika dan sesudah Kmer Merah Memerintah
jumlah pelajar Muslim berkurang.[11]
Pada saat ini solidaritas dari badan-badan Islam Internasional dan umat
Islam antara bangsa telah muncul, karena melihat kondisi umat Islam Kamboja
yang sangat memprihatinkan. Rabithah
Alami Islam di Mekkah, Organisasi
Konferensi Islam, juga telah
mengulurkan berbagai bantuan, sperti pengiriman mushaf Al-Quran, renovasi
Mesjid, dan advokasi umat Islam di Kamboja. Selain itu juga dari Malaysia juga
banyak didatangkan guru dan pendakwah serta melakukan berbagai kunjungan
silaturrahmi. Saat ini sudah dikukuhkan 320 buah kampung orang Islam (di
antaranya terdapat 110 kampung di provinsi Kompong Cham), dan difungsikan
kembali serta merehabilitasi 270 Mesjid dan surau, selain itu juga dikukuhkan
600 orang Tuan dan Hakim. Provinsi lainnya yang juga kuat umat Islamnya adalah
Provinsi Battamang dan Kampot.
Di Kamboja terdapat empat persekutuan Muslim yaitu
Samakum Islam Kamboja, di bawah pimpinan YB Wan Math, Samkum Islam Preah Reach
Anachakr Kamboja (Persatuan Islam Kerajaan Kamboja) di bawah pimpinan YB Ahmad
Yahya, dan Samkum Cham Islam Kamboja (Persatuan Islam Champa di Kamboja).
Sedangkan nama-nama tokoh Islam yang terkenal
posisinya karena dkat dengan pemerintahan adalah H.E Mr. Shit Ybrahim
(Sekretaris Kementerian Kepercayaan dan Agama Islam), YB Math Ly (Ahli Parlemen,
Wakir Perdana Menteri, dan bekas Menteri Pendidikan), Onkha Ottman Hassan (Ahli
Parlemen, Penasehat Perdana Menteri), YB Ahmad yahya (Ahli Parlemen), H.E
Ismail Yusof (Ahli Parlemen),YB Ismail Osman (Ahli Parlemen dan Wakil Perdana
Menteri di Kementerian Kepercayaan dan Agama), YB Zakaryya Adanm Osman (Wakil
Menteri di Kementerian Kepercayaan dan Agama).[12]
KESIMPULAN
Masuknya Islam Ke Kamboja berawal sejak serangan Kerajaan Annam di Vietnam terhadap
umat Islam yang berasal dari kerajaan Champa, kemudian orang-orang Champa
berimigrasi dan meminta perlindungan kepada Kerajaan Khmer di Kamboja.
Kehadiran orang-orang Champa di Kamboja disambut baik oleh raja dan para rakyat
di negara tersebut. Keterbukaan ini disebabkan karena karakter umat Islam yang
kosmopolitan dan egaliter, serta hubungan historis panjang yang telah
terjalin lama. Umat Islam yang terdiaspora didominasi oleh etnis Cham dan
Melayu sehingga pada masa berikutnya merekalah yang menjadi komunitas muslim di
Kamboja.
Dalam perjalanannya umat Islam di Kamboja mengalami sejarah yang amat
panjang, baik itu menyenangkan maupun yang kelam. Bahkan lebih dari itu, mereka
dapat berkembang dalam berbagai aspek kehidupan, dengan bukti mereka berhasil mendirikan
tempat-tempat ibadah, Madrasah, dan lembaga-lembaga keagamaan lainnya.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan mereka (umat Islam) di
Kamboja tidak dapat dipandang sebelah mata. Dalam perjalanan sejarah umat Islam
di Kamboja banyak terjadi pergantian iklim politik. Umat Islam tetap
bertahan sejak masa kerajaan Khmer, masa penjajahan Prancis, dan yang terakhir
ketika rezim Khmer Merah berkuasa. Pada masa inilah yang menjadi sejarah kelam bagi
umat Islam di Kamboja, meskipun semua agama yang ada di Kamboja menjadi
sasarannya. Pada masa rezim ini berkuasa banyak Mesjid, dan Madrasah yang
dihancurkan. Genosida alias pembantaian masal pun juga dirasakan oleh umat Islam.
Sekitar 70% dari seluruh total populasi muslim di Kamboja di Bantai oleh Rezim tersebut.
Namun setelah kekuasaan rezim Khmer merah berakhir akahirnya umat Islam dapat kembali menemukan kebebasannya. Mereka bangkit dari keterpurukan dan mulai mengembangkan sayapnya, dari berbagai aspek baik ekonomi, demografi, sosial dan keagamaan kembali dikembangkan. Dalam masa yang stabil ini umat Islam tumbuh menjadi agama minor Kamboja yang hidup harmonis berdampingan dengan penganut agama lainnya.
Namun setelah kekuasaan rezim Khmer merah berakhir akahirnya umat Islam dapat kembali menemukan kebebasannya. Mereka bangkit dari keterpurukan dan mulai mengembangkan sayapnya, dari berbagai aspek baik ekonomi, demografi, sosial dan keagamaan kembali dikembangkan. Dalam masa yang stabil ini umat Islam tumbuh menjadi agama minor Kamboja yang hidup harmonis berdampingan dengan penganut agama lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengan dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII , Jakarta : Kencana, 2013.
Jhon L.
Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam
Modern, Bandung: Mizan, 2000
Asep
Ahmad Hidayah, dkk, Studi Islam Asia
Tenggara, Bandung: CV. Pustaka, 2014.
Saifullah,
Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia
Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
D.G.E HALL, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya: Usaha
Nasional, 1988.
Ajid Thohir,
Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno
Linguistik dan Geo-Politik, Jakarta, Rajawali Pers, 2011.
M.
Ali Kettani, Minoritas Islam Di Dunia
Dewasa Ini, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.
0 komentar:
Post a Comment