Find us Here

Sejarah Muhammadiyah

A.    Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Istilah ”Muhammadiyah” menurut bahasa diartikan sebagai ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dinisbahkan (dihubungkan) dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. Menurut Djarnawi Hadikusuma menisbahkan nama tersebut bermakna untuk menjelaskan bahwa “pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam”.[96]
Kelahiran Muhammadiyah yang diprakarsai oleh Muhammad Darwis atau KH. Ahmad Ahmad Dahlan yang jatuh pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M. Kelahiran Muhammadiyah merupakan sebuah momentum kelahiran gerakan modernis terbesar di Indonesia yang bertindak pula sebagai pelopor pembaharuan sekaligus pemurnian Islam di Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, karena pada saat itu telah banyak terjadi penyimpangan ajaran Islam.
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Ahmad Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Ahmad Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Ahmad Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif. [97] Menurut dan Haedar Nashir, pendirian Muhammadiyah didasarkan pada beberapa faktor sebagai berikut:
Tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi tidak lagi dipegang teguh oleh umat Islam, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak lagi menjadi golongan terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi, Hilangnya persatuan dan kesatuan dalam kalangan umat Islam, akibat tidak terjalinnya  ukhuwah Islamiyah dan ketiadaan sebuah organisasi yang kuat menjadi penyebab kegagalan lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memproduksi kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman.
Kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, taklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme; Keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubungan dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menampakkan pengaruhnya di kalangan rakyat. [98]

B.     Gerakan Tradisionalisme Muhammadiyah
Sebagai sebuah organisasi yang melaksanakan pembaharuan dalam bidang sosial keagamaan, Muhammadiyah juga termasuk salah satu organisasi yang bersifat tradisional dalam melaksanakan ajaran agama. Artinya setiap ajaran agama yang menyimpang dikembalikan kepada ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan Muhammadiyah sendiri tidak mengenyampingkan ajaran sufisme dalam perkembangan Muhammadiyah.
Bahkan sufisme tidak akan hilang dalam kehidupan Muhammadiyah, meski puritanisme yang dipadukan dengan modernisme selalu berusaha memarginalkan sufisme, namun sufisme selalu mampu menerobos celah-celah kepenatan duniawi maupun ritual keagamaan yang terlalu formal dan “kering”. Kelenturannya beradaptasi dengan berbagai kondisi dan daya tahannya melintasi sekat-sekat aliran, kelompok, kelas sosial bahkan juga zaman merupakan nilai lebih mystical experience dalam Islam itu sendiri.
Muhammadiyah yang selama ini identik dengan organisasi Muslim kaum modernis berulang kali dinilai sebagai salah satu yang anti, atau setidaknya kurang ramah dan tidak apresiatif terhadap sufisme. Tampaknya, penilaian ini berdasarkan pada: (1) Citra Modern Muhammadiyah, sementara kaum modern itu sendiri selalu melihat mystical experience bagian dari barrier yang menghambat kemajuan; (2) karakter puritan Muhammadiyah yang anti Takhayul, Bid’ah dan Khurafat serta pendapat sebagian ulama yang memandang tasawuf adalah expresi keberagaam yang kurang autentik dalam Islam sebab rujukannya sulit ditemukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung; dan (3) tidak satupun “organisasi” kaum Sufi atau Tarikat yang bernaung di bawah Muhammadiyah.[99]
Namun demikian, Muhammadiyah mengambil tasawuf dalam bentuknya yang lain. Mengingat inti dan tujuan tasawuf adalah akhlaq al-karimah, maka muhammadiyah lebih mengelaborasinya ke akhlaq karimah tersebut, bukan pada thariqah (tarikat) yang existensinya sendiri sangat variatif. Bahkan sebagian tarikat dinilai muktabarah (valid, authentic, diterima eksistensinya sebab tidak bertentangan dengan syariah) dan sebagian yang lain dikategorikan ghairu muktabar (dinilai menyimbang dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah).
Penyebutan tasawuf itu equivalen dengan ihsan juga pernah diungkap oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah). Ketika pak Haedar masih di Badan Pendidikan Kader (kini Dr. H. Haedar Nashir, M.Si, salah satu Ketua PP Muhammadiyah), ”bila Muhammadiyah itu menolak tasawuf, lalu alternatifnya apa?” Pak Azhar menjawab, bila merujuk pada hadits shahih tentang ma huwa al-Islam, maa- huwa al-Iman, wa maa huwa al-Ihsan, maka tasawuf itu adalah ihsan. Dalam hadits terebut disebutkan ihsan adalah ”ka-annaka taraahu fainlam taraahu fainnahu yaraaka” (engkau merasa melihat Tuhan, bila pun tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah melihat engkau).[100]

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal,  Surabaya,  lpam, 2002 
Sujarwanto dan Haedar Nashir, Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990 
Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin, terjemahan M. Yusron Asrofie, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1983 .
Yantho Bashri & Retno Suffatni, Sejarah Tokoh Bangsa. (Yogyakarta: LKiS, 2004) 
Ibrahim Alfian. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986) 
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia (Jogjakarta: UII Press, 2004), 
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), 
Syamsuddin Haris, “Aspek Agama dalam Perilaku Politik NU”, dalam Pesantren, No. 2/Vol.VIII/1991, 
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: Dharma Bakti, 1978), h. 34.
Syamsuddin Haris, Aspek Agama dalam Perilaku Politik NU … 


Blog, Updated at: 1:52:00 PM

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts

Flag Counter
“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7)

FOLLOW DAPATKAN UPDATE

Download Lainnya

close