Find us Here

Islam di Brunai Darussalam

Asal Usul  Brunei Darussalam
Brunei Darussalam berdasarkan berbagai sumber dan catatan. Antara sumber dan catatan tersebut ialah dari catatan Negara China, Arab, dan juga Barat. Dalam bukunya Liku-liku Perjuangan Pencapaian Kemerdekaan Negara Brunei Darussalam karangan Haji Zainuddin Haji Hassan, antara nama-nama yang merujuk kepada Brunei disebut ‘Po-li’ wilayahnya di sebuah pulau di sebelah tenggara Canton. Menurut catatan China zaman Dinasti Tang menyatakan Brunei dengan nama ‘Po-lo’ dan wilayahnya merujuk lokasi yang sama. Tetapi selepas tahun 642, 669, dan 711 M, nama ‘Po-lo’ tidak disebutkan lagi hingga ke zaman Dinasti Ming. Dalam zaman Dinasti Sung (960-1279 M) Brunei terkenal dengan nama Po-lo disebut ‘Puni’ terletak di laut barat daya juga. Menurut Charington, Puni adalah sama dengan Po-li.
Sedangkan dalam bahasa Sankrit dengan nama Bharuna atau Varuna manakala pedagang Arab menyebut Zahaj atau Randj dan Kamarun (sebutan kepada Pulau Brunei)[1]. Kedudukan Brunei dan pelabuhannya yang teduh serta hasil-hasilnya menjadikan Brunei terkenal di kalangan ahli pelayaran dan pedagang-pedagang yang berulang-balik dari tanah Arab ke India, Melayu, China dan sebaliknya melalui jalan perdagangan lama yang dikenali sebagai jalan sutera laut atau jalan rempah ke wilayah Melayu.
Menurut catatan dari China, Kerajaan Brunei merupakan sebuah negeri yang tangku dan berpengaruh. Kewujudan Brunei telah lama dikenali dalam sumber catatan dari China dengan beberapa nama seperti Po-ni. Menurut seorang pengkaji sejarah Brunei, Haji Jamil Sufri, perbedaan riwayat China dari segi nama ini disebabkan oleh perubahan Dinasti yang berlaku di Negara China yang menyebut mengikut sebutan masing-masing.

Letak Geografis dan Sejarah Awal Brunei Darussalam
Secara geografis Brunei Darussalam terletak di pantai barat-laut pulau Kalimantan “Borneo” dan berbatasan dengan Serawak disebelah barat daya, Sabah di sebelah timur laut, sedangkan disebelah barat dan selatan berbatasan dengan Negara Indoensia. Brunei adalah salah satu Negara yang mempunyai luas wilayah yang tergolong kecil, dan menempati urutan ke -148 di dunia setelah Siprus dan Trinidad. Dalam perbandingannya Negara Brunei Darussalam sebanding dengan luas wilayah Aceh Tengah di Indonesia. Dengan luas wilayah 5765 Km, berpenduduk sekitar 281.000 jiwa (tahun1995), dengan kepadatan 178 per mil. Penduduknya terdiri dari Melayu 65%, China 20% dan sisanya sekitar 15% adalah penduduk Brunei lainnya dari suku Dayak yang menghuni daerah pinggiran, dan tersebar di bagian barat-laut Borneo sepanjang daratan pesisir.[2]
Sejarah awal Brunei dapat dilacak berdasarkan sejarah zaman tamaddun manusia terawal yang di temui di kawasan yang dikenali sebagai Kota Batu. Dari aspek ketamadunnya, Brunei merupakan pusat peradaban manusia pada zaman antara 500 hingga 1000 tahun yang lalu. Ini terbukti dengan terdapatnya temuan-temuan seperti tembikar, mata uang. Tambahan pula pada zaman kegemilangan kemaharajaan Budha Sriwijaya pada abad ke -8. Borneo Barat adalah tempat persinggahan yang paling disukai ahli pelayaran dan pedagang dari India dan China.
Selain itu terdapat pula cerita legenda Melayu Brunei yang terdapat dalam Syair Awang Semaun, terdapat kisah mengenai penemuan Negara Brunei. Dalam syair Negarakretagama pula, kerajaan Brunei dikatakan pernah menjadi jajahan taktuk Majapahit. Setelah diisyaratkan bebas dari pada Majapahit, Kerajaan Brunei bernaung dengan Negara China sehingga wujudnya interaksi erat antara Kerajaan Brunei dan Negara China. Dari sini dapat kita lihat bahwa Brunei mempunyai sejarah yang lama dan bukanlah hanya sebuah wilayah kecil tetapi sebuah Negara yang mempunyai sistem.

Sejarah Awal Masuknya Islam di Brunei Darusalam
Sejarah menyebutkan Brunei memang sudah melakukan kontak sosial dan perdagangan sebelum Islam berkembang di sana. Perjalanan perniagaan antara China dengan Brunei (Po-ni) menggunakan jong-jong (sejenis kapal kecil) membawa barang dagangannya seperti tembikar, perak, emas, kerang-kerangan dan kain sutera.[3]
Informasi lain ketika Tome Pires dan Ruy de Brito menyebutkan bahwa dengan membawa bahan-bahan mentah seperti beras, ikan, daging, madu lebah, emas dan kapur barus, selanjutnya dari Malaka, bahan-bahan ini di bawa pulang ke Pegu sedangkan bahan-bahan yang dibeli dan dibawa balik oleh pedagang-pedagang Brunei ialah kain India, cermin serta alat perhiasan dari Asia Barat.[4]
Dari kontak kegiatan perniagaan ini diketahui bahwa masyarakat Brunei bertemu dengan para pedagang muslim, China, Persia dan India. Hal ini sangat erat dengan penaman Brunei itu sendiri, dan juga kita bisa melihat bahwa sebelum Islam datang ke Brunei agama yang di anut oleh masyarakat adalah Hindu-Buddha. Untuk mempekuat argumen ini kita bisa melacak dalam tulisan Negarakertagama yang disebutkan bahwa tradisi pengaruh Majapahit mencakup Sumatera, Semenanjung Melayu, Mendawai, Brunei dan Tanjung Puri di Kalimantan, termasuk timur Jawa meliputi Bali, Makasar, Banda dan Maluku.[5] Hal lain bisa dilihat dari nama raja Brunei sebelum mereka berganti menjadi nama Islam dan juga penyebutan Brunei. Masuknya Islam Awang Alak Betatar sebagai babak baru bagi perkembangan Islam di Brunei.
Keberadaan agama Islam di wilayah Asia Tenggara serta perkembangan ISlamnya mempunyai sejarah yang berbeda. Karena agama Islam khususnya di Asia Tenggara dalam penyebarannya melalui media pergagangan dan Tarekat. Hal ini memicu kontak dengan pedagang pedagang muslim pada masa itu.
Menurut Barbara Watsson dan dan Leonerd T, Andaya, bahwa Islam datang pertama kali ke Brunei dari bagian barat Asia Tenggara, setelah melalui India, Sumatera Utara, dan Malaka sejak abad XVI M. kemudian pendapat lain menyebutkan dari sisi Arkeologi yakni Batu Tarsilah atau Silsilah Brunei yang menjelaskan bahwa Islam datang ke Brunei pada abad XI Masehi. Batu Tarsilah dalam bentuk bendanya sebagai benda Arkeologi dari masa lalu kesultanan Brunei Darussalam dan berfungsi sebagai data kesejarahan melalui inskripsi dimana terukir di dalamnya kesultanan Brunei Darussalam. Data yang tertulis ialah berupa tentang susunan nama-nama raja yang pernah menaiki tahta kesultanan Brunei, sejak masa Awang Alak Betatar (Sultan Muhammad Shah) sampai sultan Muhammad Tajuddin.
Selain Batu Tarsila, ternyata terdapat bukti lain dengan di temukan nisan Putri Sultan Abdul Majid bin Muhammad Shah Al Sultan tertanggal 440 H/1048 di perkuburan Muslim di jalan Penduduk, Bandar Seri Begawan.[6] Sebagian menyebutkan bahwa makam tertua di Brunei adalah seorang muslimah bernama Mahdarah (Roqayah) yang meninggal tahun 1048 M/440 H, belum jelas latar belakang ketokohannya. Kemungkinan yang di maksud adalah putri Sultan Abdul Majid bin Muhammad Shah Al-Sultan.[7]
Mengenai islam di Brunei Darussalam kurang lebih dalam kurun masehi XIV. Sultan Islam Brunei pertama adalah Sultan Muhammad Shah.[8] (Awang Alak Betatar) yaitu setelah baginda menikahi dengan puteri Johor (Singapura) kira-kira dalam tahun masehi 1368, Silsilah Raja-Raja Brunei versi Datu Imam Yaakub menyebutkan:
"Adalah yang pertama kerajaan di Negeri Brunei membawa Agama Islam dan mengikut syariat Nabi Muhammad Shallallah ‘Alaihi wa Sallam, yaitu Paduka Seri Sultan Muhammad dan saudaranya Sultan Ahmad".[9]
Walaupun Islam disebutkan secara resmi dalam zaman pemerintahan Sultan Muhammad Shah namun demikian kemungkinan besar islam yang tersebar di Brunei lebih awal daripada sejarah itu karena kedudukan Brunei di tengah-tengah Nusantara yang menjadikannya tempat pelaluan dan persinggahan pedagang Islam.
Batu nisan yang terdapat di perkuburan Islam di Rangas, Bandar Seri Begawan dapat menguatkan lagi bukti tentang kedatangan Islam ini. Ini menunjukkan agama Islam telah di bawa masuk ke Brunei lebih awal dari pada tahun masehi 1368, hanya sesudah Sultan Muhammad Shah (Awang Alak Betatar) memeluk Islam barulah agama Islam menjadi resmi dan sejak saat itu mubaligh-mubaligh Islam telah berusaha menyebarkannya secara terang-terangan. Setalah Baginda Muhammad Shah mangkat pada 1402 kemudian digantikan oleh Putera Baginda Abdul Majid Hasan.
Dalam penemuan batu nisan di Jalan Residency ada mencatat nama baginda Rokyah binti Sultan Abdul Majid Hasan ibnu Muhammad Shah al-Sultan. Oaring Cina member gelar Manajekana[10]. Menurut sumber Cina Kerajaan Po-ni (sekarang disebut Brunei) sering bertukar-tukar utusan dengan China. Perbincangan berkaitan dengan Sultan Abdul Majid Hasan merupakan suatu topic penting yang menggambarkan betapa eratnya interaksi peradaban Melayu di Brunei ketika bersentuhan dengan peradaban China.

Perkembangan Islam di Brunei Darusalam
Brunei memperoleh kemerdekaannya dari inggris pada tahun 1984. Konstitusi brunei menegaskan bahwa agama resmi brunei darussalam adalah islam mengikut mazhab shafi’i. Meski agama lain seperti Kristen, Budha, dan Hindu dapat dianut dan dilaksanakan secara damai dan harmonis, namun pemerintah menegaskan sejumlah batasan bagi pemeluk agama non-islam, anta lain pelarangan bagi non-muslim untuk menyebarkan agamanya. Akhir tahun 2000 dan 2001 pemerintah menahan orang kristen, karena dugaan aktivitas subversif (bawah tanah). Mereka akhirnya dilepaskan pada bulan oktober 2001 setelah bersumpah setia pada sultan. Tidak dibenarkan satu sekolahpun, termasuk sekolah swasta mengajarkan ajaran agama selain islam, termasuk materi perbandingan agama. Selain itu, seluruh sekolah termasuk sekolah cina dan kristen diharuskan mengajarkan materi pelajaran islam kepada seluruh siswanya.
Berbagai pemeluk agama hidup berdampingan secara damai, namun interaksi gereja terhalang oleh etos Islam yang dominan yang tidak memperbolehkan pemeluk islam mempelajari keyakinan agama lain. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh islam mengorganisir sejumlah kegiatan untuk mengajarkan dan menyebarkan islam yang mereka istilahkan dengan “dialog” meski dalam kenyataanya hanya berbentuk informasi satu arah.
Kerajaan brunei dikenal menganut ideologi kerajaan islam melayu atau melayu islam beraja (MIB). Berbagai pertemuan dan acara seremonial ditutup dengan doa. Pada setiap upacara kenegaraan, non-muslim diharuskan memakai pakaian nasional yang mencakup tudung kepala bagi perempuan dan kopiah bagi laki-laki, kostum yang relatif identik dengan busana muslim. Seperti yang ditegaskan oleh Sultan Haji Hassanal Bolkiah Muizzaddin wa Daulah mengawali tahun 1991:”Melayu Islam Beraja harus menegaskan identitas dan citra Brunei Darussalam yang kokoh di tengah-tengah negara non-skuler lainnya di dunia”. Sebuah surat kabar resmi pemerintahan menjelaskan tentang melayu islam beraja sebagai berikut: “ Kerajaan Islam Melayu menyerukan kepada masyarakat untuk setia kepada rajanya, melaksanakan islam dan menjadikannya sebagai jalan hidup serta menjalani kehidupan dengan mematuhi segala karakteristik dan sifat sejati bangsa Melayu Brunei Darussalam, termasuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa utama”.[11]
Seiring dengan penekanan akan urgensi Melayu Islam Beraja (MIB) sebagai mana di tegaskan pemerintah, awal tahun 1991  ditandai dengan bermacam perayaan peristiwa-peristiwa keagamaan, mulai dari isra’mi’raj Nabi Muhammad, perayaan Nuzul Quran, perayaan hari raya Idul Fitri, memperingati tahun baru Hijriah, serta keikutsertaan Brunei dalam berbagai forum islam regional dan internasional, misalnya dengan menjadi tuan rumah Pertemuan Komite Eksekutif Dewan Dakwah Islam Regional Asia Tenggara, menghadiri pembukaan Festival Budaya Islam di Jakarta, serta menghadiri konferensi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Di sisi lain, pemerintah melarang jual beli minjuman keras. Sultan juga melarang pergerakan al-Arqam yang dinilai banyak kalangan  sebagai gerakan yang menyebarkan ajaran sesat. Hal ini mencerminkan kokohnya pendirian pemerintah dalam menghadapi organisasi sempalan islam. Lebih jauh, besarnya perhatian Sultan terhadap aktivitas–aktivitas keislaman seperti di kemukakan di atas, dapat diinterpretasikan sebagai dukungan pemerintah terhadap proses islamisasi dimana berperan sebagai perwujudan dari islam dan Kultur Melayu Brunei.
Karena itu, MIB, nampaknya dapat digambarkan sebagai upaya pemerintah untuk membangun sebuah ideologi nasional serta mengartikulasikan budaya nasional sehingga diharapkan dapat memberikan arah dalam mengelola perubahan sosial yang cepat, dan dalam pembangunan bangsa. Melayu Islam Beraja berkaitan erat dengan evolusi adat istiadat dan tradisi Melayu Brunei. Melalui MIB, pemerintah menginginkan agar nilai-nilai budaya Melayu dan norma Islam dijalankan. Acara-acara upacara keagamaan yang banyak tertera dalam kalender Muslim memberikan gambaran tentang bagaimana ideologi nasional itu diungkapkan dalam kehidupan berbangsa.
Dalam aspek hukum, hukum Brunei mencakup pelarangan khalwat ( hubungan intim namun tidak sampai melakukan zina antara dua jenis kelamin di luar hubungan pernikahan) dan larangan mengkonsumsi minuman yang memabukkan. Berdasarkan data statistic yang dikeluarkan oleh pejabat agama, sepanjang bulan Juli 2005 hingga April 2006 terdapat 386 kasus khalwat. Sebagian besar ditahan dan mendapat hukuman. Pejabat agama selalu melakukan razia makanan tidak halal dan mengandung alcohol. Mereka melakukan monitoring ke sejumlah restoran dan supermarket untuk memastikan bahwa yang mereka sajikan adalah makanan halal. Pegawai restoran yang ketahuan melayani muslim makan di siang hari Ramadhan juga dapat diperkarakan dan dihukum.


DAFTAR PUSTAKA
Wan Ariffin Wan Yon, Kesultanan Melayu Brunei: Kemunculan, Perkembangan dan Pertemuan Dengan Peradaban Asing, Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2005.
Ahmad Ibrahim, DKK, Islam di Asia Tenggara “Perkembangan Kontemporer, LP3ES, 1990.
Dr, Haji Awang Mohd Jamil Al-Sufri, “Lika-Liku Perjuangan Pencapaian Kemerdekaan Negara Brunei Darussalam”, Jabatan Pusat Sejarah Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, Brunei Darussalam, 1992.
Muhammad Yosuff Hashim, Kesultanan Melayu Malaka, Dewan Bahasa dan PErpustakaan Kementerian Pendidikan Malaysia Kuala Lumpur, 1990.
D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggar, Usaha Nasional, Surabaya.
Uka Tjandra sasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Gramedia, Jakarta, 2009.
Sweeney, P.L.A., Silsilah Raja-Raja Brunei, JMBRAS, Vol. XLII, Part 2, 1968.
Brunei Darussalam newsletter, 15 july 1991.


Blog, Updated at: 3:18:00 PM

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts

Flag Counter
“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7)

FOLLOW DAPATKAN UPDATE

Download Lainnya

close