BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW., hingga masa Imam Syafi’i terdapat kelompok fuqaha yang masyhur dengan pendapatnya. Di sisi lain, ada sekelompok fuqaha yang populer dengan periwayatan hadisnya. Di antara para fuqaha dari kalangan sahabat, terdapat mereka yang terkenal dengan pendapatnya, sebagaimana sahabat lain yang masyhur dengan hadis dan periwayatannya.Demikian pula dengan generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in, para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik dan para fuqaha lain di berbagai negeri Islam yang terkenal dengan pendapatnya sebagaimana banyak dari mereka yang dikenal dengan periwayatan hadisnya.
Al-Syahrastani dalam kitabnya yang berjudul al-Milal wa al-Nihal mengatakan: “sesungguhnya berbagai peristiwa dan kasus dalam masalah ibadah dan kehidupan sehari-hari banyak sekali. Kita juga mengetahui dengan pasti bahwa tidak setiap kejadian atau permasalahan terdapat keterangannya di dalam nash. Bahkan dapat dikatakan ada kejadian-kejadian yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Jika nash-nash yang ada terbatas jumlahnya, sementara peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak terbatas dan sesuatu yang terbatas tidak dapat dihukumi oleh sesuatu yang terbatas. Maka dapat diambil satu kesimpulan dengan pasti bahwa ijtihad dan qiyas merupakan sesuatu yang harus ditempuh,
sehingga setiap permasalahan selalu dapat ditemukan solusinya.”[1]
Sementara itu, terbentuknya hukum syar’i tidak lain dan tidak bukan hanyalah dengan mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat manusia.[2] Musthafa Din al-Bugha mengatakan dalam karyanya Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy: Atsar al-Adillah al-Mukhtalif Fiha:
“Pada dasarnya hukum Islam dibentuk berdasarkan kemaslahatan manusia. Setiap segala sesuatu yang mengandung maslahah, maka terdapat dalil yang mendukungnya, dan setiap ada kemadharatan yang membahayakan, maka terdapat pula dalil yang mencegahnya. Para ulama sepakat bahwa semua hukum-huum Allah dipenuhi kemaslahatan hamba-Nya di dunia dan di akhirat. Dan sesungguhnya maqshid al-syari’ah itu hanya ditujukan untuk merealisasikan kebahagiaan yang haiki bagi mereka.[3]
Mayoritas ulama sepakat bahwa al-Syari’ (yang
menetapkan syari’at) tidak akan menetapkan hukum atas kenyataan yang dihadapi oleh manusia dan tidak akan memberikan petunjuk pada jalan yang akan mengantarkan kepada penetapan hukum kecuali untuk merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia.[4]
Dalam penetapan hukum Islam sumber rujukan utamanya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Sedang sumber sekundernya adalah ijtihad
para ulama. Setiap istinbath (pengambilan hukum) dalam syari’at
Islam harus berpijak atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil
syara’ ada dua macam, yaitu: nash dan goiru al-nash. Dalam
menetapkan suatu hukum, seorang ahli hukum harus mengetahui prosedur cara
penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari nash. Cara
penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari nash ada
dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan makna (thuruq al-ma’nawiyah) dan
pendekatan lafazh (thuruq al-lafzhiyah). Pendekatan makna
adalah (istidlal) penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash
langsung, seperti menggunakan qiyas, istihsan, istislah (mashalih
al-mursalah), dan lain sebagainya.[5]
Dari latar belakang di atas
kami mengambil kesimpulan yang telah kami rumuskan dalam beberapa rumusan
masalah, yaitu pertama; pengertian maslahah mursalah, kedua; dasar
hukum mashlahah mursalah, ketiga; kedudukan mashlahah mursalah dalam
hukum Islam.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian Mashlahah Al Mursalah?
2. Apa yang Menjadi Dasar Hukum Mashlahah Al Mursalah?
3. Bagaimana Kedudukan Mashlahah Al Mursalah Dalam Hukum Islam?
2. Apa yang Menjadi Dasar Hukum Mashlahah Al Mursalah?
3. Bagaimana Kedudukan Mashlahah Al Mursalah Dalam Hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Mashlahah Al Mursalah
Suatu kaidah fiqhiyyah menyatakan bahwa “menolak
kerusakan/kemadharatan itu lebih diutamakan daripada mendatangkan
kemashlahatan”.[6]
Dari kaidah tersebut dapat ditarik benang merah bahwa muara dari terbentuknya
fiqh (hukum Islam) adalah maslahah. Secara etimologi,
masalahah merupakan bentukan dari kara shalaha, yashluhu, shulhan,
shilahiyyatan, yang berarti faedah, kepentingan, kemanfaatan dan
kemaslahatan.[7]
Sedangkan secara terminologi, maslahah
diartikan sebagai sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang mendatangkan manfaat
dan menolak kerusakan/ kemadharatan.[8]
Namun pengertian tersebut bukanlah pengertian yang dimaksudkan oleh ahli ushul dalam
terminologi mashalih al-mursalah. Menurut pendapat mereka maslahah
dalam term mashalih al-mursalah adalah al-muhafazhah ‘ala
maqasid al-syari’ah (memelihara /melindungi maksud-maksud hukum
syar’i.[9]
Selanjunya dihubungkan dengan kata “mursalah”
maka dalam kata “Al-Maslahah al-Murasalah” terdapat hubungan kata sifat
dan yang disifati, kata “Al-maslahah” sebagai kata sifat, sedangakan
kata”Al-Mursalah” sebagai kata yang disifati.
Sedangkan kata “Al-Mursalah” menurut ilmu
Sharf (morfologis) adalah isim maf’ul dari kata kerja yang semakna
dengan kata yang berarti “sesuatu yang terlepas atau sesuatu yang dilepaskan.
Dengan demikian kata “Al-Maslahah Al-Mursalah” secara etimologi
dapat diartikan “suatu kebaikan, suatu manfa’at atau suatu faedah yang
dilepaskan”. Artinya suatu kebaikan, manfa’at, atau faedah dari suatu perbuatan
yang tidak ada penjelasan secara fisik dari Nash mengenai boleh tidaknya
perbuatan itu dikerjakan.
Sedangkan pengertian secara terminology
terdapat beberapa rumusan definisi yang dikemukakan oleh para ‘ulama Ushul
Fiqh, namun mempunyai pengertian yang saling berdekatan, diantaranya :
1.
Abdul Wahab Khallaf memberikan rumussan:
“Maslahah Mursalah ialah maslahah dimana Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) tidak
menetapkan hukum secara spesifik untuk mewujudkan kemaslahatan itu, juga tidak
terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya, maupun pembatalannya.”[10]
2.
Mohammad Abu Zahroh, “Yaitu kemaslahatan yang
selaras dengan tujuan hukum yang ditetapkan oleh syari’ (Allah dan Rosul-Nya),
akan tetapi tidak ada suatu dalil yang spesifik yang menerangkan tentang
diakuinya atau ditolaknya kemaslahatan itu,”[11]
3.
At-Thufy “Definisi maslahah menurut ‘Urf
(pemahaman secara umum) adalah sebab yang membawa kebaikan, seperti bisnis yang
dapat membawa orang memperoleh keuntungan. Sedang menurut pandangan hukum Islam
adalah sebab yang dapat mengantarkan kepada tercapainya tujuan hukum Islam,
baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah.”[12]
4.
Imam Ar-Razi mena’rifkan bahwa maslahah
mursalah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh
Musyarri’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya,
akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.
5.
Imam Al-ghazali mena’rifkan bahwa maslahah
mursalah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak mudarat.
6.
Menurut Imam Muhammad Hasbih As-Siddiqi,
maslahah mursalah ialah memelihara tujuan dengan jalan menolak segala sesuatu
yang merusak makhluk.
Dari bebrapa definisi di atas dapat ditarik
suatu kesimpulan tentang hakekat “Al-Maslahah Al-Murasalah” tersebut sebagai
berikut :
1.
Ia adalah sesuatu yang menurut pertimbangan
akal atau adat kebiasaan dapat mendatangkan kebaikan, manfa’at maupun faedah
yang nyata bagi kehidupan manusia.
2.
Kebaikan, manfa’at maupun faedah tersebut
sejalan dan selaras dengan tujuan hukum yang ditetapkan oleh Syari’.
3.
Secara umum tidak didapatkan suatu dalil yang
spesifik baik dasi nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang mengakui ataupun yang
membatalkan kemaslahatan tersebut.
Abdul wahab kallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan
maslahah mursalah yaitu:
1.
Sesuatu yang dianggap
maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki, yaitu yang benar-benar akan
mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudaratan, bukan berupa dugaan belaka
dengan hanya mempertimbangkan adanya kemamfaatan tanpa melihat kepada akibat
negatif yang ditimbulkannya. Minsalnya yang disebut terahir ini adalah anggapan
bahwa hak untuk menjatuhkan talak itu berada di tangan wanita bukan lagi
ditangan pria adalah maslahat yang palsu, karena bertentangan dengan ketentuan
syariat yang menegaskan bahwa hak untuk menjatuhkan talak berada di
tangan suami sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: “dari Ibnu Umar
sesungguhnya dia pernah menalak istrinya padahal dia sedang dalam keadaan haid
hal ini diceritakan kepada nabi SAW, maka beliau bersabda: suruh ibnu umar
untuk merujuknya lagi, kemudian menalaknya dalam kondisi suci atau hamil”
(HR. Ibnu majah).
2.
Sesuatu yang dianggap
maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum bukan kepentingan pribadi.
3.
Sesuatu yang dianggap
maslahat itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ditegaskan dalam
Alquran atau sunnah Rasulullah atau bertentangan dengan ijma’.[13]
Contoh-contoh maslahah mursalah:
1.
Tindakan Abu Bakar
terhadap orang-orang yang ingkar membayar zakat, itu adalah demi kemaslahatan.
2.
Mensyaratkan adanya
surat kawin, untuk syahnya gugatan dalam soal perkawinan.
3.
Menulis huruf Al-Qur’an
kepada huruf latin.
4.
Membuang barang yang
ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya barang, karena ada gelombang besar
yang menjadikan kapal oleng. Demi kemaslahatan penumpang dan menolak bahaya.
Dalam Al-Qur’an tidak ada perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari
hafalan dan tulisan, tetapi para sahabat melakukannya.
B.
Dasar Hukum Mashlahah Al Mursalah
Ada beberapa dasar hukum atau dalil mengenai diberlakukannya teori Maslahah
Mursalah diantaranya adalah :
1. Al Quran
Di antara ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya maslahah mursalah
adalah firman Allah SWT.
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam (Q.S. Al Anbiya : 107)
Artinya: “Hai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman.” ( Q.S. Yunus : 57).
2. Hadits
Hadits yang dikemukakan sebagai landasan syar’i atas kehujahan maslahah
mursalah adalah sabda Nabi saw, “Tidak boleh berbuat madhorot dan pula
saling memadhorotkan.” (H.R. lbnu Majah dan Daruquthni dan lainnya.
Hadits ini berkualitas hasan)
3. Perbuatan Para Sahabat dan Ulama Salaf
Dalam memberikan contoh maslahah mursalah di muka telah dijelaskan, bahwa
para sahabat seperti Abu Bakar As Shidik, Umar bin Khathab dan para imam
madzhab telah mensyariatkan aneka ragam hukum berdasarkan prinsip maslahah.
Disamping dasar-dasar tersebut di atas, kehujahan maslahah musrsalah juga
didukung dalil-dalil aqliyah (alasan rasional) sebagaimana dikemukakan oleh
Abdul Wahab Kholaf dalam kitabnya Ilmu Ushulil Fiqh bahwa kemaslahatan
manusia itu selalu aktual yang tidak ada habisnya, karenanya, kalau tidak ada
syariah hukum yang berdasarkan maslahat manusia berkenaan dangan maslahah baru
yang terus berkembang dan pembentukan hukum hanya berdasarkan prinsip maslahah
yang mendapat pengakuan syar saja, maka pembentukan hukum akan berhenti dan
kemaslahatan yang dibutuhkan manusia di setiap masa dan tempat akan terabaikan.
Para ulama yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil syara, menyatakan
bahwa dalil hukum. Maslahah mursalah ialah :
a.
Persoalan yang dihadapi
manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian pula kepentingan dan keperluan
hidupnya.
b.
Sebenarnya para
sahabat, para tabi’in, tabi’t tabi’iin dan para ulama yang datang sesudahnya
telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukun sesuai
dengan kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu.
Seperti telah dibahas sebelumnya, adapun
dasarnya menjadikan Al-Maslahah Al-Mursalah sebagai hukum Islam adalah
penelitian terhadap nash-nash, baik dari Al-Qur’an maupun hadits telah
membuktikan bahwa semua hukum Islam yang ditetapkan oleh Allah dan Rosul-Nya
atas hambanya, baik dalam bentuk perintah maupun larangan, pastilah mengandung
kebaikan, manfa’at, serta faedah yang nyata bagi kehidupan manusia dan tidak
ada satupun hukum syara’ yang sepi dari kemaslahatan, manfa’at atau faedah
tersebut. Meskipun bagi sebagian orang yang tidak cakap dalam menggunakan akal
fikirannya, hukum syara’ tersebut dirasakan tidak membuahkan kemaslahatan. Akan
tetapi bagi orang cerdas dalam menggunakan akal fikirannya yang sehat tentuia
dapat menemukan dan merasakan kemaslahatan dan manfa’at serta faedah yang nyata
dari hukum syara’ tersebut dalam kehidupannya.[14]
Seperti adanya penetapan hukum qishash atas
pelaku tindak pidana pembunuhan maupun penganiayaan berat yang ditetapkan oleh
Allah melalui firman-Nya (antara lain firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah (2)
ayat 178, 179, Q.S. Al-Maidah (5) ayat 45), bagi orang yang tidak cakap dalam
menggunakan akal fikirannya yang sehat dan hanya meneruti kemauan hawa
nafsunya, akan difahami telah bertentangan dengan HAM dan oleh karenanya
mereka keberatan diterapkannya hukum tersebut.. akan tetapi sebaliknya bagi
oarang-orang yang mengikuti petunjuk Allah maka dia akan menggunakn fikiran
sehatnya, serta membuang kemauan hawa nafsunya, tentu mereka akan mnemukan
kebiakan dan manfa’at bila hukum tersebut diterapkan secara benar dan adil.
Begitu pula perbuatan yang dilarang oleh Allah
dan Rosul-Nya, jika hal-hal yang dilarang tersebut benar-benar dihindari dan
dijauhi, maka sudah pasti akan menjauhkan seseorang dari segala bentuk
kemadlorotan dan kehancuran dalam kehidupannya. Adapun dasar pemikiran yang
demikian itu kiranya telah merupakan petunjuk yang dapat disimpulkan dari Nash
Al-Qur’an antar lain firman Allah : “Dan sesungguhnya aku tidak
mengutus engkau (untuk menyampaikan segala perintah dan larangan) melainkan
hanya dengan maksud untuk memberi rahmat (kebaikan, manfa’at serta faedah yang
nyata) bagi alam semesta”. (QS. Al Anbiya 21: 107)
Dari segi ada atau tidaknya nash (Al-Qur’an
ddan As-Sunnah) yang menegaskan adanya kemaslahatan di dalam suatu hukum Islam,
maka “Maslahahah” dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian antara lain :
1.
Maslahah yang “mu’tabaroh” (maslahah yang
diakui oleh syara’), yaitu kemaslahatan yang ingin diwujudkan oleh hukum
Islam dan Nash telah mengakuinya dengan menjelaskan adanya kemaslahatan
tersebut, misalnya Nsah menjelaskan bahwa penerapan hukum Islam yang dimaksud
adlah dalam rangka untuk melindungi HAM (Hak Asasi Manusia) yang meliputi hak
untuk beragama, mempertahankan keeksistensian diri, mengembangkan kreasi,
mempertimbangkan jenis jenis keturunan dan harga diri dan hak untuk memenuhi
kebutuhan ekonomis dan hak atas pemilikan harta benda. Maslahah yang Mu’tabaroh
menurut sebagian ulama Ushul Fiqh disebut dengan “Maslahah Dhoruriyah”
(kemaslahatan yang harus diwujudkan dalam rangka memelihara kebaikan,
ketertiban dan eksistensi dalam kehidupan manusia), yang merupakan tujuan
hakiki hukum Islam, dan sebagian yang lain menyebutkan istilah “Al-Munasib
Al-Mu’tabaroh” (kemaslahatan yang diakui oleh syara’)
2.
Maslahah yang “Mulghoh”/Maslahah Ghairu
Mu’tabaroh”/Al-Munasib Al-Mulgho” (kemaslahatan yang tidak diakui dan tidak
dibenarkan oleh syara’), yaitu suatu sifat kemaslahatan yang kelihatannya
secara lahiriyah dapat merealisasikan kemaslahatan, tetapi syara’
melarangnya, seperti terwujudnya “kekayaan” yang diperoleh melalui perjudian.
Maslahah seperti ini, Ulama Ushul Fiqh sepakat tidak boleh dijadikan illat
hukum maupun dalil hukum.
3.
Maslahah Mursalah / Maslahah Mutlaqoh / Munasib
Mursalah,
yaitu sifst yang (kemaslahatan) yang tidak diketahui apakah diakui atau
dibatalkan oleh syara’, baik melalui Nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) atau
melalui ijma’. Seperti keputusan Abu Bakar Ra. menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an
ke dalam suatu mushaf, keputusan Umar ibnul Khattab Ra. Tidak memotong tangan
pencuri karena musim paceklik, tidak memberikan zakat kepada mualaf, dan
lain-lain. Maslahah yang nomor tiga ini diperselisihkan oleh para Ulama apakah
diperbolehkan illat hukum dan dalil hukum atau tidak. Golongan malikiyyah
menyebutkan maslahah ini dengan “Al-Maslahah Al-Mursalah”, Al-Ghazaly
menyebutkannya “Al-munasib Al-Mursal Al-Mulaim”.[15]
Imam Malik dalam menetapkan hukum bagi suatu
persoalan yang tidak terdapat dalam Nash (baik Al-Qur’an maupun As-unnah)
mengenai persoalan itu berdasarkan “Al-maslahah Al;-Mursalah”, karena setiap
hukum Islam yang ditetapkan oleh syara’ berdasarkan Nash, pasti untuk
mewujudkan kemaslahatan yang nyata bagi manusia, maka tidak diragukan jika
mengenai suatu persoalan yang tidak terdapat Nash mengenai hal itu, maka
maslahah yang nyata dan selaras serta sejalan dengan tujuan hukum syara’ adalah
merupakan aturan Allah juga.[16]
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
penggunaan Al-Maslahah Al-Mursalah sebagai dasar hukum, para ulama sangat
berhati-hati dalam hal itu, sehingga tidk terbuka pintu untuk menetapkan hukum
Islam berdasarkan hawa nafsu dan keinginan perorangan. Untuk itu merka
menetapkan 3 (tiga) syarat dalam menggnakan maslahah murasalah sebagai dasar
hukum.[17]
Tiga syarat trsebut adalah sebagai berikut :
1.
Maslahah tersebut adalah merupakan maslahah
yang nyata (hakiki), bukan maslahah ditetapkan berdasarkan dengan dugaan (zdonny)
yaitu suatu ketentuan hukum (tidak ada Nash-Nya) yang bilamana diterapkan
benar-benar dapat mendatangkan kebaikan yang nyata dan dapat menghilangkan
mudharat. Adapun ketika ketentuan hukum (yang tidak ada Nash-Nya) yang bilaman
diterapkan, diduga akan menimbulkan kebaikan dan menghilangkan atau menolak
kemudharatan, maka ketentuan itu disebut Maslahah yang dzanny.
2.
Maslahah tersebut berlaku secara umum, bukan
maslahah yang bersifat individual, yaitu ketentuan yang bila dilaksanakan akan
mendatangkan kebaikan bagi kebanyakan umat manusia pada umumnya. Bukan hanya
mendatangkan kebaikan bagi orang seorang atau beberapa orang saja. Jika
demikian, maka tidak dapat ditetapkan suatu hukum, karena ini akan merealisir
kebaikan secara khusus, misalnya bagi seorang pemimpin atau bagi kalangan elit
saja, tanpa memperhatikan mayoritas umat manusia.
3.
Pembentukan hukum berdasarkan maslahah ini
tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip hukum yang telah ditetapkan
berdasarkan Nash atau ijma’. Maka tidak sah mengakui maslahah yang menuntut
adanya persamaan hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam pembagian
harta pusaka, karena itu jelas bertentangan dengan ketentuan hkum yang yang
terkandung di dalam firman Allah yang artinya “ Allah berpesan tentang
anak-anakmu, bahwa bagi (anak) laki-laki adalah dua kali lipat bagian (anak)
perempuan.” (QS. An Nisa: 11)
Dari pemaparan di atas pemakalah dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Para fuqaha berbeda pendapat dalam penggunaan
“Al-Maslahah” sebagai dalil penetapan hukum Islam, diantara mereka ada yang
menggunakannya sebagai dalil dalam menetapkan hukum bagi suatu maslah yang
tidak ada Nash secara jelas mengenai hal itu dan sebagian adapula yang tidak
menggunakannya.
2.
Al-Maslahah ditetapkan sebagai dalil karena
betolak pada suatu pemikiran yang ditetapkan oleh syara’ pasti membuahkan
kebaikan dan manfa’at bagi ummat manusia.
3.
Dalam para Fuqaha berbeda-beda dalam penyebutan
istilah “Maslahah”
4.
Bahwa dalam Maslahah dibedakan menjadi tiga
badian yaitu Al-Maslahah Al-Mu’tabaroh, Maslahah yang Mulgah dan maslahah
Mursalah.
5.
Maslahah yang bertentangan dengan Nash baik
Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang “dalalah” dan “wurud”nya bersifat
“qath’i” tidak dapat digunakan sebagai dasar dalam penetapan hukum,
tetapi jika bertentangan dengan Nash yang bersifat “dzanny“, maka
maslahah lebih diutamakan
C. Kedudukan Mashlahah
Mursalah Dalam Hukum Islam
Adapun terhadap kehujjahan maslahah
al-mursalah, pada prinsifnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan
dalam menetapkan hukum syara, sekalipun dalam penerapan dan penempatan
syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk
menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut
berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan
bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat atau
motivasi hukum dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi
motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima
maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka
dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Untuk bisa
menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama
Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:
Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’
dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum, kemaslahatan
itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang
ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat
dan menghindari atau menolak kemudaratan, kemaslahatan itu menyangkut
kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil
tertentu.
Ulama golongan Syafi’iyyah, pada dasarnya, juga
menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i,
memasukkannya ke dalam qiyas. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali
terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum,
yaitu:
a.
Maslahah itu sejalan dengan jenis
tindakan-tindakan syara’
b.
Maslahah itu tidak meninggalkan atau
bertentangan dengan nash syara’
c.
Maslahah itu termasuk kedalam kategori maslahah
yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang
banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah, sesungguhnya berhujjah
dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka melakukan
qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan yang lainnya karena adanya
ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.
Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah
mursalah ialah Imam Malik dengan alasan Allah mengutus utusan-utusannya untuk
membimbing umatnya kepada kemaslahatan.[18]
Dengan demikian, Jumhur Ulama sebenarnya
menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan
hukum islam. Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan maslahah dapat dijadikan
hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah: Hasil induksi terhadap ayat
atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi
manusia. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat,
zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at islam terbatas pada
hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk
kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khathab tidak ember
bagian zakat kepada para muallaf (orang yang baru masuk islam), karena menurut
‘Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas pemakalah dapat
mengambil kesimpulan bahwa Maslahah mursalah
adalah suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat) dan memelihara
tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih maslahah.
Landasan hukum maslahah mursalah dari Al-Qur’an, Hadits serta Perbuatan Para
Sahabat dan Ulama Salaf.
Kedudukan serta Kehujjahan maslahah
al-mursalah, Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam
menetapkan hukum syara, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya,
mereka berbeda pendapat. Obyek maslahah mursalah
berlanddaskan pada hukum syara’ secara umum juga harus diperhatikan adat dan
hubungan antara satu manusia dengan yang lain. Secara ringkas maslahah mursalah
itu juga difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya
melalui suatu I’tibar.
B. Saran
Sebagai Mahasiswa muslim, kita harus
meningkatkan pemahaman tentang mashlahah al mursalah denagn lebih banyak
membaca dan mengkaji buku-buku Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syahrastani, al-Milal
wa al-Nihal (Kairo:
al-Maktabah al-Taufiqiyyah. tt.), vol. 1,
Muhammad Abu Zahrah, Ushul
al-Fiqh (Terj.)
Saefullah Ma’sum (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2005),
Musthafa Dib al-Bugho, Ushul
al-Tasyri’ al-Islamiy: Atsar al-Adillah al-Mukhtalif Fiha (Beirut: Dar al-Qalam. 1993),
cet. 3
Abdul Wahab Khalaf, Masadir
al-Tasyri’ al-Islami fi ma la Nassa fihisebagaimana dikutip oleh Abdul Karim
al-Khatib dalam bukunya, Ijtihad
Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam (Jakarta:
Gaya Media Pratama. 2005.),
Jaih Mubarak, Kaidah
Fiqhiyah (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002),
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir:
Kamus Arab Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 2002),
Al-Ghazali, Al-Mustashfa
min al-‘Ilmi al-Ushul (Beirut:
al-Resalah, 1997), Vol. I.,
Abdul Wahab
Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Jakarta : Rajawali Press,
1993),
Muhammad
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut : Daar Al-Fkr Al-Araby),
At-Tufy
sulaiman majmuddin, At-Ta’yin fi Syarhi Al-Arabin, (Beirut : Muassasah
Dayyan, 1998),
Chaerul Umam, Ushul fiqih 1, Pustaka Setia, 1998
Satria Efendi,Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005),
Muhammad Abu
Zahrah, Tarikh Al-Mazdhab Al-Fiqhiyyah, (Beirut : Daar Al-Fiqr Al-Araby),
Deding Siswanto, Ushul Fiqih 1, Armico, 1990.
[1] Al-Syahrastani, al-Milal
wa al-Nihal (Kairo: al-Maktabah
al-Taufiqiyyah. tt.), vol. 1, hlm. 205.
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul
al-Fiqh (Terj.) Saefullah Ma’sum
(Jakarta: Pustaka Firdaus. 2005), hlm. 423.
[3] Musthafa Dib al-Bugho, Ushul
al-Tasyri’ al-Islamiy: Atsar al-Adillah al-Mukhtalif Fiha (Beirut: Dar al-Qalam. 1993),
cet. 3 hlm. 28.
[4] Abdul Wahab Khalaf, Masadir
al-Tasyri’ al-Islami fi ma la Nassa fihisebagaimana dikutip oleh Abdul Karim
al-Khatib dalam bukunya, Ijtihad
Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama.
2005.), hlm. 107.
[7] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir:
Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif,
2002), hlm. 789.
[9] Ibid,
hlm 417.
[12] At-Tufy
sulaiman majmuddin, At-Ta’yin fi Syarhi Al-Arabin, (Beirut : Muassasah
Dayyan, 1998), hlm. 239
[15] Muhammad Abu
Zahrah, Op. Cit, hlm. 277
[16] Muhammad Abu
Zahrah, Tarikh Al-Mazdhab Al-Fiqhiyyah, (Beirut : Daar Al-Fiqr Al-Araby), hlm.
273.
[17] Abdul Wahab
Khallaf, Op. Cit, hlm. 130
0 komentar:
Post a Comment