Find us Here

Muhammad Amien Rais: Tokoh Modernis Fundamentalis dan Reformis Menuju Orde Baru

Amien Rais dikenal juga dengan Muhammad Amien Rais sering disingkat dengan MAR. Amien Rais merupakan salah satu tokoh Nasional Indonesia yang berjasa dalam membawa gerakan Reformasi 1998. Amien Rais juga tokoh reformasi yang mengawal jalannya reformasi 1998 hingga bisa menumbangkan Rezim Orde Baru.


A. Profil Amien Rais
Amien Rais atau disingkat dengan MAR. Ia merupakan sosok Bapak reformasi bangsa Indonesia dari keterbelengguan rezim pemerintahan yang panjang dalam sejarah pemerintahan Presiden Suharato. Untuk mengenak tokoh ini penulis memaparkan sedikit banyaknya tentang riwayat hidup amien rais tentunya dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Berikut ini mengenal lebih dekat Amien Rais yang penulis kutip dari Wikipedia serta merujuk kepada salah satu karyanya "Cakrawala Islam antara cinta dan Fakta" yaitu:
1)Nama Lengkap         : Muhammad Amien Rais
2)Agama                     : Islam
3)Tempat Lahir            : Surakarta, Jawa Tengah
4)Tanggal Lahir           : Rabu, 26 April 1944
5)Zodiac                      : Taurus
6)Hobby                      : Membaca | Diskusi | Menulis
7)Warga Negara           : Indonesia

Amien Rais adalah salah satu pilar penting politik di Indonesia yang ikut membidani lahirnya reformasi dan berakhirnya era pemerintahan Orde Baru. Sejak di bangku kuliah Amien Rais sudah aktif di berbagai organisasi mahasiswa.

B. Pemikiran Amien Rais
Pada bagian sebelumnya penulis mengajak pembaca untuk mengetahui latar belakang hidup Amien Rais (MAR) dan pendidikan MAR, dengan demikian melihat latar belakang MAR dapat disimpulkan gagasan MAR yang berasal dari perjalanan pendidikan dan organisasi yang digeluti MAR. Pemikiran Amien Rais yaitu:
Gagasan Reformasi
Figur amien rais dikenal dengan reformis, mengapa tidak? Ia merupakan tokoh reformasi Indonesia, dalam pergerakan politik MAR  tahun 1998 menjatuhkan rezim Suharto sehingga Indonesia menuju ke gerbang Orde Baru dengan pemerintahan baru. 


Di dalam buku yang dikarang oleh “Firdausi Syam” yang berjudul “Amien rais dan aksi politiknya Amien sangat mengedepankan aspek-aspek keislaman. Telah aktif menulis sejak di masa sekolah, suara dan kritik Amien Rais juga diserukan melalui tulisan, salah satunya dengan menjadi penulis tetap di Harian Umum Republika dan menulis sejumlah buku tentang politik dan Islam. Beliau adalah tokoh yang vokal menyerukan pendapat dan terang-terangan mengkritik kebobrokan pemerintahan Orde Baru yang saat itu masih berkuasa. Ketika kondisi perekonomian Indonesia semakin lemah, Amien Rais termasuk tokoh nasional yang menyerukan reformasi total dalam pemerintahan dan menuntut lengsernya presiden Soeharto. 

Konfrontatif dan Kritis
Berkaitan dengan konfrontatif, Amien sangat memiliki ideology yang konfrontatif artinya dalam berbagai aspek amien sangat kritis terhadap sesuatu yang dipandang berlawanan dengan aspek agama. sikap tersebut merupakan pengaruh dari sikap akomodasi Muhammadiyah dalam menyiasati keadaan, Muhammadiyah memilih jalan tengah ini melakukan konfrontasi dengan pemerintah.[1]

Sikap kritis juga tampak sebagaimana pernyataannya dalam "suara Amien Rais, ia mengatakan: "kita tidak boleh lupa bahwa ensi demokrasi adalah empat macam kebebasan rasa takut, dan kebebasan untuk kesejahteraan, kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan beragama".[2] 

Menolak sekularisasi. 
Di tengah semaraknya perdebatan mengenal persoalan sekulerisme dan sekulerisasi di Indonesia yang disampaikan Nurcholish Madjid dengan kelompok pembaruannya era 1970-1980-an’,’Amien Rais memiliki tanggapan mengenai hal ini dalam suatu tulisan yang diterbitkannya. Pada dekade 1980-an, kalangan Islam modernis yang dikelompokkan dalam tipologi pemikiran formalistik berhasil merumuskan suatu paradigma baru yang lebih konsepsional.[3]

Pandangan Amien Rais mengenai masalah sekulerisme secara jelas dikatakannya bahwa politik Islam tidak memberi tempat pada sekulerisasi yang menganut sekulerisme politik tanpa modal keagamaan serta nilai-nilai yang berlaku di dalamnya sangat relative dan situasional. Politik yang dijalankan seorang Muslim tentu yang penuh kornitmen kepada Allah. Kekuasaan, pengaruh kepentingan tertentu, posisi politik dan sebagainya bukanlah tujuan utama, semua itu hanyalah sarana untuk mencapai tujuan yang sebenarnya, yakni pengabdian kepada Allah. (Rais, 1987) Walaupun sebagian orang menganggap sebagai proses yang mau tidak mau harus membarengi modemisasi, akan tetapi menurut Amien Rais politik yang Islami tidak memberi tempat bagi sekulerisasi. Pemikirannya itu didasarkan pandangan Harvey Cox[4] yang menjelaskan komponen-komponen sekulerisasi adalah disenchantmen of nature, desakralisasi politik dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti pembebasan alam dan nilai-nilai agama agar masyarakat dapat melakukan perubahan dan pembangunan dengan bebas.

Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral terhadap otoritas dan kekuasaan, sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai maknanya adalah perelàtivan setiap sistem nilal termasuk nilai agama agar supaya manusia mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi. Berpegang asas itu,rnin Rais berpendapat sekulenisme yang cenderung menuhankan ma’nusia dan penlahan-lahan mencoba menggusur nilai-nilai agama dengan nilai-nllai yang sepenuhnya humanistic tidak bisa dIterima. Sebagaimana diketahui humanisme-sekuler mempunyai kredo khusus (semacam sahadat) yaitu “manusia adalah ukuran segala-galanya” (man is one measure of all things). Sekulerisme seperti halnya Animisme, Megisisme dan Mitologisme adalah manifestasi jahiliyah ditinjau dan pandangan Islam. Manusia Islam adalah manusia yang pikiran dan bahasanya tidak lagi dikendalikan oleh magi, mitologi, Animisme, tradisi-tradisi kultural dan nasionalnya serta sekulerisme. Menurutnya, Islam harus terbebas baik dan dunia sekuler maupun dunia magis. Mengenai mengapa Islam[5] tidak menerima sekulerisasi, argumentasi Amien Rais meminjam pandangan pemikir Islam dan Malaysia yaitu Naquib-Attas yang menjelaskan:

“Sekulerisasi sebagai suatu keseluruhan bukan saja merupakan pengejawantahan dan suatu pandangan hidup yang sangat tidak Islami, melainkan juga bertentangan dengan Islam dan Islam menolak manifestasi yang tersurat maupun tersirat dan sekulerisasi. Karena itu kaum Muslimin harus tegas mencampakkan sekulenisasi dan alam pikiran, sebab sekulerisasi merupakan racun berbisa bagi iman.

Amien Rais sangat menolak ide “sekulerisme” dan “sekulerisasi” yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nun). Tesis sekulerisasi bagi pendapatnya tidak lain menganjurkan agama menjauhkan din dan politik begitu pula sebaliknya, sedangkan pemikiran Amien Rais, persoalan agama dan politik justru saling bersatu, karena itu melancarkan usaha sekulerisasi di dunia Islam tidak akan pemah berhasil Sekalipun sekulerisasi dicoba bedakan dan sekuleriisme dengan alasan bahwa yang terakhir ini adalah ideologi sedangkan yang pertama menunjuk kepada proses sosial yang bersifat open ended. Akan tetapi pada asasnya sekulenisasi juga ideologi yakni ideology sekulerisasionisme dalam satu tema artikel “Pembaruan pemahaman Islam dalam perspektif “ Ia menjelaskan mengenai tesis-tesis sekulerisme, yang dijelaskan lebih lanjut “Karena manusia hidup dalam materi (material world) di mana pemenuhan keperluan hidup materialnya dirasakan lebih Iangsung dan mendesak dibandingkan keperluan-keperluan non-materialnya. maka tesis sekulerisasi menganjurkan agar menjauhkan diri dan politik dan demikian pula sebaliknya. Konsep sekulerisasi didasarkan asumsi bahwa dengan mekarnya modernisasi dan perkembangan politik. agama kehilangan daya tank dan pengaruhnya atas nama modern."[6]

Mengamati prospektif modemisasi yang sedang berkembang di tengah masyarakat dunia sebuah bangsa maupun negara menurut anggota sosiologi percaya bahwa yang melakukan modernisasi mau tidak mau, suka atau tidak suka akan mengalami proses sekulerisasi dengan sendirinya. Menurut mereka, datangnya sekulerisasi tidak dapat dielakkan seolah-olah modemisasi dan sekulerisasi bagaikan dua sisi mata uang. Sepertinya para ahli ilmuan sosial itu memberikan suatu isyarat bahwa sekulerisasi harus merupakan syarat mutlak bagi modernisasi atau pembangunan suatu bangsa. ini memposisikan agama dalam keadaan berhadapan dengan modemisasi itu sendiri.

Donald Smith berpendapat bahwa sekulerisasi berkaitan pemisahan aktivitas politik dan masyarakat dan agama, simbol-simbol dan berbagai struktur yang menghubungkan politik dan agama sama sekali dihancurkan dan legitimasi politik tidak lagi diperoleh dan agama. Sekulerisasi juga berkaitan dengan ekspansi politik ke seluruh wilayah kehidupan yang semula bemaung di bawah agama dan bersamaan dengan itu berbagai bidang kehidupan masyarakat dan negara telah bergeser dan wilayah yuridiksi agama ke yuridiksi negara. Selain itu pula dalam sekulenisasi terjadi transformasi budaya politik, yaitu beralihnya nilai-nilai yang relevan di bidang politik ke suatu orientasi yang sekuler. Amien Rais membagi sekulerisme menjadi dua macam yaitu sekulerisme moderat dan sekulerisme radikal. Lalu bagaimana sekulerisme dalam pandangan Islam? Jawaban Amien Rais jelas sekulerisme moderat maupun sekulerisme radikal tidak memiliki tempat dalam agama Islam karena itu setiap usaha untuk melancarkan sekulerisasi di dunia Muslim tidak akan pernah berhasil, maka tidak salah bila Nurchalish Madjid saat itu menyebut Amien Rais sebagai Natsir.[7]

Mengedepankan Nilai Keislaman, Pada tataran ini amien rais, dalam beretika politik dan sebagainya tidak meninggalkan aspek keagamaan, menurutnya: “Agama Islam merupakan pondasi dasar yang seharusnya manusia berpijak, dalam hal apapun manusia beraktivitas”, kondisi ini didikan dalam pendidikan awal yang tradisional kemudian menempuh pendidikan dan organisasi yang radikal.

Dan uraian di atas dapat dijelaskan pengaruh gerakan Islam modernis yang telah diterima Amien Rais sejak kecil dan menjadi keyakinan hidup di tengah keluarga, menjadikan Islam sebagai variabel yang berdiri sendiri (independent variable). dengan demikian ia mencoba melawan arus Liberalisme dengan mengedapankan nilai-nilai keislaman baik ekonomi maupun Agama, tidak seperti liberalism yang dianut oleh Nurchalish Madjid, Gus Dur, Harun Nasution, Munawir Sadzali, Djohan Efendi, Lutfi As-Syaukani, Ulil Absar Abdalla.[8]

C. Aksi Politik Amien Rais 
Muhammad Amien Rais (Amien Rais), seorang cendekiawan generasi baru satu angkatan dengan Nurcholish Madjid. Berbeda dengan rekannya yang cenderung sangat akomodasionis terhadap pemerintahan Orde Baru, Amien Rais termasuk yang dikelompokkan ke dalam Islam garis keras (hard liner) dan “ekstrim kanan” yang turut diwaspadai semasa Orde Baru.[9] Selepas menyelesaikan pendidikan di Amerika Serikat, ia kemudian kembali ke tanah air dan aktif menyampaikan gagasan-gagasannya balk berkaitan dengan masalah keumatan, bangsa maupun kehidupan politik secara luas sampai pada persoalan internasional. Pada masa mi ia mulai banyak berbicara di luar komunitas organisasi Muhammadiyah. Ia berdiskusi di kalangan pelajar, lingkungan sekitar dunia kampus dan masjid sampai pada forum-forum studi. Ia telah menyampaikan sejumlah pemikirannya dalam bentuk tertulis yang dimuat di berbagai media serta penerbitan. 

Karya dan hasil-pemikirannya itu sejak tahun 1980-an meliputi persoalan keagamaan, keindonsiaan, masalah ideologi juga persoalan politik intemasional.[10]
1.Ideologi Politik Muhammadiyah
Ketika dalam Tanwir Muhammadiyah 1993 di Surabaya Amien Rais mulai menggulirkan isu “Suksesi Kepemimpinan Nasional” dalam kerangka konsep “high politics Muhammadiyah” yang provokatif itu, tanggapan elite Muhammadiyah sangat bervariasi. Lukman Harun menolak secara kategoris, K.H. A. Azhar Basyir Ketua PP Muhammadiyah waktu itu meminta agenda itu di-mauquf-kan atau paling kurang ditunda karena terasa kurang etis. Dan Din Syamsuddin secara agak peyoratif tetapi elaboratif, menyebut gagasan menggulirkan isu tersebut sebagai tidak lebih dan seruan azari, dan Amien Rais hanyalah tukang azan alias muadzdzin.[11]

Menjadi muadzdzin itu berarti: pertama, tidak akan menjadi imam (mana lazim muadzdzin menjadi imam); kedua, umat belum tentu datang meresponsnya. Tugas seorang muadzdzin adalah  dan hanyalah menyeru dan berseru: “hayya ‘ala demokrasi, hayya ‘ala suksesi (man menegakkan demokrasi, ayo mempeijuangkan suksesi). Soal siapa yang menjadi operator suksesi, siapa yang kelak menikmati implikasi politiknya, dan siapa suksesornya, itu semua bukan “bisnis” Muhammadiyah. Dan Muhammadiyah tidak akan pernah berpikir untuk mengambil keuntungan politik praktis, karena politik Muhammadiyah adalah politik etis,  adiluhung, dan tinggi (high politics).

Kritik Din Syamsuddin yang konon (sekali lagi: konon) diramal oleh Prof. Leonard Binder, guru keduanya di The University of Chicago dan The University of California Los Angeles, berpotensi saling bersaing di Muhammadiyali itu benar, dan dibenarkan Amien Rais. “Saya memang tukang azan,” demikian pengakuan Amien Rais dalam Membumikan Politik Adiluhung. Menurut Din Syamsuddin yang menjadi murid Binder atas rekomendasi Amien Rais konsep high politics yang dilakukan Amien Rais itu terlalu romantis, bahkan mungkin utopis, karena kurang berpijak pada realitas politik yang ada. Kampanye suksesi yang dilakukan Amien Rais dengan agresif itu tak lebih dan tak kurang dan “politik kerja baik” saja.

Usaha secara sistematis untuk menjadikan Muhammadiyah monolitik secara politik. Muhammadiyah bukanlah entitas politik yang homogen, maka tidak mungkin monolitik. Semua pihak hams tahu garis demarkasi mi. Dan asal tahu saja baliwa setiap upaya yang dilakukan oleh siapa pun dan pihak mana pun, termasuk oleh Ketua PP Muhammadiyah untuk menjadikan Muhammadiyah monolitik secara politik pastilah akan sia-sia, dan justru akan menjadi bumerang terhadap dirinya. Muhammadiyah bukan organisasi politik, dan tidak pernah menjadi partai politik. Maka secara politik ia merupakan organisasi yang majemuk dengan heterogenitas politik yang sangat luas spektrumnya.[12]

Setiap upaya untuk menjadikan Muhamrnadiyah monolitik pasti akan mendapatkan tantangan dengan gigth secara internal. Dalam konteks dan perspektif mi, tidak mungkin ia secara politik di-Golkar-kan, di-PPP-kan, di-PDI-kari, di-Partai Bla-Bla-Bla-kan, dan last but not least diseret ke arah radikalisme oposisional yang tak berkesudahan. Sejarah telah membuktikan kebenaran implementasi pemyataan ini. Hatta ketika Muhammadiyah menjadi anggota istimewa Masyumi sekalipun warga Muhammadiyah tetap diberi kebebasan untuk memilih melakukan artikulasi dan ekspresi politiknya sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Muhammadiyah memandang partai politik yang ada secara sepadan: Tidak mengutamakan satu partai politik di atas partai politik yang lain.

Tradisi tidak melibatkan secara langsung dalam politik prak tis dan tradisi tidak monolitik secara politik memang telah meng- akibatkan sikap politik warga Muhammadiyah tidak pernah seragam (regimented). Justru keanekaragaman ini menjadi bukti bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik. Dalam konteks ini maka aneh kalau ada orang intemal maupun eksternal yang bermimpi Muhammadiyah secara organisasional akan mendu- kung sikap polihk tertentu secara monolitik. Inilah yang menjadi sebab mengapa tidak pernah ada pimpinan Muhammadiyah sepanjarig zaman yang mencoba menggiring Muhammadiyah untuk memberikan dukungan kepada salah satu partal politik. Bagi mereka yang menghayati jati din Muhammadiyah, memang begitulah rumusan “idiologi politik” Muhammadiyah sejak dulu kala sampai kini, dan insyã Allah, sampai kapan pun juga. Rumusan mi pula yang mesti diingat oleh setiap unsure pimpinan yang ingin menjadi aktivis politik: Jangan sekali-kali menggiring apalagi menginstruksikan kepada warganya untuk memilih salah satu partai politik mana pun. Biarkan saja warga Muhammadiyah melakukan ijtihad politik secara individual sesuai dengan hak asasinya sebagai warga Negara.

Muhammad Din Syamsuddin mengkategorisasikan politik Muhammadiyah  sebagai “politik alokatif”, yaitu pola gerakan dengan cara mendistribusikan subsatansi nilai-nilai Islami ke dalam proses politik sebagai dakwah amar ma’ruf nahi munkar, yaitu usaha untuk mengajak manusia kepada kebenaran dan meninggalkan kemungkaran, dengan selalu aktif dan responsif dalam mempengaruhi dan memantau jalannya proses kebijakan dan kepemerintahan, baik secara kelembagaan maupun melalui elite-elite Muhammadiyah itu sendiri. Konsep alokasi nilai ini bisa juga dikenal dengan high politics.[13]

2.Amien Rais, PAN, dan High Politics
Amien Rais akhirnya memimpin partai baru. Partai yang embrionya berawal dan Majelis Amanat Rakyat (MARA) dan sebelumnya direncanakan bernama Partai Amanat Bangsa (PAB) itu diberi nama Partai Amanat Nasional (PAN). Dideklarasikan secara meriah pada Minggu, 23 Agustus 1998 lalu di Istora Senayan.[14] Di tahun 1998, Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), partai yang membawa aspirasi perjuangan Muhammadiyah untuk negara. Amien Rais menjadi ketua umumnya dan diajukan menjadi calon presiden di Pemilu tahun 1999 dan 2004. Gagasan Amien Rais memberikan pengaruh yang besar di politik nasional dan kestabilan negara, salah satunya adalah dengan membentuk Poros Tengah saat persaingan politik nasional sedang memanas memperebutkan kursi kepresidenan setelah BJ Habibie.

Atas manuver-manuver politiknya untuk bangsa Indonesia, Amien Rais disebut-sebut sebagai Bapak Bangsa. Usai Pemilu tahun 2004, Amien Rais memutuskan untuk kembali menjadi akademisi di kampus, dan tetap bergiat di Muhammadiyah dan partainya, PAN. Dibanding partai-partai baru yang lain, PAN relatif mendapat sambutan lebih antusias. Puluhan ribu orang mayoritas anak muda berjejal-jejal memadati Istora Senayan yang hanya berkapasitas 10.000 orang. Belum lagi yang bergerombol-gerombol di luar gedung. Semuanya menyambut kehadiran PAN dengan sukacita. Ketika acara sudah dimulai beberapa menit, saya bahkan sempat menyaksikan Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno bersama Dr. Mudji Sutrisno ikut berdesak-desakan bersama pengunjung lainnya. Suatu peristiwa yang sangat jarang terjadi bagi kedua rohaniwan itu. Tapi yang membuat saya haru, kedua Romo itu tampak sumringah meski kesulitan-sempat jalan dan pintu ke pintu  memasuki Istora.

Mengapa orang begitu antusias menyambut kehadiran PAN? Menurut saya, paling tidak, ada dua keistimewaan PAN jika dibandingkan dengan partai-partai baru yang lain. 
Pertama, partai ini didirikan dan diketuai oleh tokoh yang paling banyak disorot sepanjang gerakan reformasi bergulir di Indonesia. Amien Rais, dinilai sebagai satu (kalau bukan satusatunya) dan sekian banyak tokoh reformasi yang dianggap paling konsisten menentang rezim, menegakkan keadilan dan demokrasi yang dikemas dalam bahasa profetis amar ma’ruf nahi munkar. Karenanya cukup masuk akal kalau salah satu mingguan terkemuka ibu kota menobatkannya sebagai tokoh utama penarik gerbong reformasi. Dan karenanya pula wajar kalau Faisal H. Basri, dalam suatu kesempatan wawancara sempat berujar, “tanpa Amien Rais, PAN is nothing.” Meski terkesan berlebthan, tapi mungkin ada benarnya juga pendapat Sekjen PAN itu. Pada saat dekiarasi partai benlambang matahari bersinar terang dengan 32 lurik cahaya itu misalnya, yang diyelkan hadirin dipandu pembawa acara Mega “Asteroid” Simarmata lebih banyak “hidup Amien Rais”-nya daripada “hidup PAN”.

Kedua, sebagai partai, PAN memiliki platform yang relatif cukup ideal bagi sebuah kekuatan sosial politik di era reformasi. Dan segi politik, sosial, budaya, dan lain-lain, program-programnya cukup mencerminkan semangat demokrasi. Ta bahkan mewacanakan din sebagai partai yang lahir dan kandungan era reformasi. Seperti diketahui, partai-partai yang bermunculan belakangan mi, meskipun masing-masing ngotot mengklaim dirinya inklusif, terbuka, dan ref ormis, tapi dalam batas-batas tertentu masih banyak yang memperlihatkan keeksklusifannya. Sebut saja misalnya yang banyak disorot Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan Matori Abdul Djalil, Partai Buruh Nasional pimpinan Muchtar Yakpahan, Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra, Partai Ummat Islam (PUT) pimpinan Deliar Noer, Partai Perempuan Indonesia pimpinan La Rose/Opi Tutisundari, Partai Refonmasi Tionghoa Indonesia (Parti) pimpinan Lieus Sung-Kharisma, Partai Katolik Demokrat pimpmnan Mankus Mali, dan Partai Kristen Nasional Indonesia pimpinan Laora Sitompul. Dan segi nama, partai-partai tersebut jelas menunjukkan eksklusivitas: berdasarkan romantisme masa lalu, agama, gender, etnik, dan profesi.  Sementana PAN relatif lebih terbuka, meskipun dipimpin oleh Amien Rais yang masih mengetuai PP Muhammadiyah.[15]

Dalam kancah politiknya Amien Rais memadukan PAN sebagai sarana politik pluralism sosio-cultural bangsa Indonesia menuju gerbang politik sementara dalam mempertahankan nilai-nilai keislaman ia lebih condong mengakomodasikan Muhammadiyah.


DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rohim Ghazali, M. Amien Rais  dalam Sorotan Generasi Muda Muhammadiyah, (Jakarta, Mizan, 1998)
Abdul Munir, 1 Abad Muhammadiyah -  Gagasan Pembahatuan Sosial Keagamaan, (Jakarta: Kompas Nusantara, 2010),
Budhy Munawar - Rachman, Sekulerisme, Liberal dan pluralism, Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, (Jakarta, tp. 2010),
Firdaus Syam, Amien Rais (Politisi merakyat dan Inelektual yang shaleh), Pustaka ak-Kautsar, Jakarta Timur: 2003
Hikmawan Syahputra, Peran Politik Muhammadiyah Tahun 2010-2014, ed. September 2014, Jurnal Ilmu Pemerintahan – Universitas Brawijaya Malang,
M. Amien Rais, Cakrawala Islam – Anatar Cinta dan fakta, (Bandung: Mizan, 1996),
Muhammad najib, Suara Amien Rais Suara Rakyat, (Jakarta: Gema Insani, 1999),
Windy, A., 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia di Abad 20, (Jakarta: Buku Kita, 2007.


[1] Abdul Munir, 1 Abad Muhammadiyah - Gagasan Pembahatuan Sosial Keagamaan, (Jakarta: Kompas Nusantara, 2010), hal. 208
[2] Muhammad najib, Suara Amien Rais Suara Rakyat, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hal. 31
[3] Firdaus Syam, Amien Rais (Politisi merakyat dan Inelektual yang shaleh), Pustaka ak-Kautsar, Jakarta Timur: 2003, hal.180
[4] Guru besar Amien Rais Semasa Ia berada dalam pendidikan di chicago
[5] Amien Rais, hal. 180
[6] M. Amien Rais, Cakrawala Islam – Anatar Cinta dan fakta, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 123
[7] M. Amien Rais, Cakrawala Islam , hal 182
[8] Budhy Munawar - Rachman, Sekulerisme, Liberal dan pluralism, Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, (Jakarta, tp. 2010), hal. XIV
[9] Firdaus Syam, hal. 277
[10] Firdaus Syam, hal, 179
[11] M. Amien Rais, Sorotan, hal. 23
[12]Abd. Rohim Ghazali, M. Amien Rais . . . ..hal. 28
[13] Hikmawan Syahputra, Peran Politik Muhammadiyah Tahun 2010-2014, ed. September 2014, Jurnal Ilmu Pemerintahan – Universitas Brawijaya Malang, hal. 10
[14] M. Amien Rais, Sorotan, hal. 64
[15] M. Amien Rais, Sorotan, hal. 65


Blog, Updated at: 3:37:00 AM

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts

Flag Counter
“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7)

FOLLOW DAPATKAN UPDATE

Download Lainnya

close